Tag Archive: kepribadian manusia


Allah SWT berfirman:

[ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ [النحل: 125

Serulah mereka ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu adalah Yang Lebih Mengetahui siapa yang tersesat dari jalanNYA dan Yang Lebih Mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

(QS an-Nahl [16]: 125).

Ayat di atas menerangkan tiga metode (thariqoh) penyampaian dakwah atau pengembanan risalah. Ada cara yang berbeda untuk sasaran dakwah yang berbeda.

Pertama: dengan hikmah, maksudnya dengan dalil (burhan) atau hujjah yang jelas (qoth’i maupun zhanni) sehingga menampakkan kebenaran dan menghilangkan kesamaran. Sebagian mufassir seperti as-Suyuthi, al-Fairuzabadi, dan al-Baghawi mengartikan hikmah sebagai al-Quran. Ibnu Katsir menafsirkan hikmah sebagai apa saja yang diturunkan Allah berupa al-Kitab dan as-Sunnah.

Penafsiran tersebut tampaknya masih global. Mufassir lainnya lalu menafsirkan hikmah secara lebih rinci, yakni sebagai hujjah atau dalil. Sebagian mensyaratkan hujjah  itu harus bersifat qoth’i (pasti), seperti an-Nawawi al-Jawi. Yang lainnya, seperti al-Baidhawi, tidak mengharuskan sifat qoth’i,  tetapi menjelaskan karakter dalil itu, yakni kejelasan yang menghilangkan kesamaran. An-Nawawi al-Jawi menafsirkan hikmah sebagai hujjah yang qoth’i yang menghasilkan aqidah yang meyakinkan. An-Nisaburi menafsirkan hikmah sebagai  hujjah yang qoth’i yang dapat menghasilkan keyakinan. Al-Baidhawi dan Al-Khazin mengartikan hikmah dengan ucapan yang tepat (al-muqalah al-muhkamah), yaitu dalil yang menjelaskan kebenaran dan menyingkirkan kesamaran (ad-dalil al-muwadhdhih li al-haq wa alimunzih li asy-syubhah). Al-Asyqar menafsirkan hikmah dengan ucapan yang tepat dan benar (al-muqalah al-muhakkamah ash-shahibah).

Pertama, Jumhur mufassir menafsirkan kata hikmah dengan hujjah atau dalil. Dari ungkapan para mufassir di atas juga dapat dimengerti, bahwa hujjah yang dimaksud adalah hujjah yang bersifat rasional (‘aqliyyah/fikriyyah), yakni hujjah yang tertuju kepada akal. Alasannya, para mufassir seperti al-Baidhawi, al-Alusi, an-Nisaburi, al-Khazin, dan an-Nawawi al-Jawi mengaitkan seruan dengan hikmah ini kepada sasarannya yang spesifik, yakni golongan yang mempunyai kemampuan berpikir sempurna. Cara dakwah dengan hikmah ini tertuju kepada mereka yang ingin mengetahui hakikat kebenaran yang sesungguhnya, yakni mereka yang memiliki kemampuan berpikir yang tinggi atau sempurna, seperti para pemikir dan cendekiawan.

Kedua, dengan maw’izhah hasanah, yaitu peringatan yang baik yang dapat menyentuk akal dan hati (perasaan). Misalnya dengan menyampaikan aspek targhib (memberi dorongan/pujian) dan tarhib (memberi peringatan/celaan) ketika menyampaikan hujjah. Sebagian mufassir menafsirkan maw’izhah hasanah (nasihat/peringatan yang baik) secara global, yaitu nasihat atau peringatan al-Quran (mawa’izh al-Quran). Demikian pendapat al-Fairuzabadi, as-Suyuthi dan al-Baghawi. Namun, as-Suyuthi dan al-Baghawi sedikit menambahkan, dapat juga maknanya adalah perkataan yang lembut (al-qawl ar-raqiq).

Merinci tafsiran global tersebut, para mufassir menjelaskan sifat maw’izhah hasanah sebagai suatu nasihat yang tertuju pada hati (perasaan), tanpa meninggalkan karakter nasihat itu yang tertuju pada akal. Sayyid Quthub menafsirkan maw’izhah hasanah sebagai nasihat yang masuk ke dalam hati dengan lembut (tadhkulu il-a al-qulub bi rifq). An-Nisaburi menafsirkan maw’izhah hasanah sebagai dalil-dalil yang memuaskan (ad-dalala’il al-iqna’iyyah), yang tersusun untuk mewujudkan pembenaran (tashdiq) berdasarkan premis-premis yang telah diterima. Al-Baidhawi dan al-Alusi menafsirkan maw’izhah hasanah sebagai seruan-seruan yang memuaskan/meyakinkan (al-khithabat al-muqni’ah) dan ungkapan-ungkapan yang bermanfaat (al-‘ibar an-nafi’ah). An-Nawawi al-Jawi menafsirkan sebagai tanda-tanda yang bersifat zhanni (al-amarat azh-zhanniyah) dan dalil-dalil yang memuaskan. Al-Khazin menafsirkan maq’izhah hasanah dengan targhib (memberi dorongan untuk menjalankan ketaatan) dan tarhib (memberikan ancaman/eringatan agar meninggalkan kemaksiatan).

Dari berbagi tafsir itu, karakter nasihat yang tergolong maw’izhah hasanah ada dua:

  1. Menggunakan ungkapan yang tertuju pada akal. Ini terbukti dengan ungkapan yang digunakan para mufassir, seperti an-Nisaburi, al-Baidhawi, dan al-Alusi, akni kata dala’il (bukti-bukti), muqaddimah (premis), dan khithab (seruan). Semua ini jelas berkaitan dengan fungsi akal untuk memahami.
  2. Menggunakan ungkapan yang tertuju pada hati/perasaan. Terbukti, para mufassir menyifati dalil itu dengan aspek kepuasan hati atau keyakinan. AN-Naisaburi, misalnya, menggunakan kata dala’il iqna’iyyah (dalil yang menimbulkan kepuasan/keyakinan). Al-Baidhawi dan al-Alusi menggunakan ungakapan al-khithabat al-muqni’ah (ungkapan-ungkapan yang memuaskan). Adanya kepuasan dan keyakinan (‘iqna) jelas tidak akan terwujud tanpa proses pembenaran dan kecondongan hati. Semua ini berkaitan dengan fungsi hati untuk meyakini atau puas terhadap sesuatu dalil. Diantara upaya untuk menyentuh perasaan adalah menyampaikan tarhib dan targhib, sebagaimana ditunjukkan oleh al-Khazin.

Cara dakwah dengan maw’izhah hasanah ini tertuju kepada masyarakat secara umum. Mereka adalah orang-orang yang taraf berpikirnya di bawah golongan yang diseru dengan hikmah, namun masih dapat berpikir dengan baik dan mempunyai fitrah dan kecenderungan yang lurus. Demikian menurut al-Baidhawi, al-Alusi, an-Nisaburi, al-Khazin dan an-Nawawi al-Jawi.

Ketiga, dengan jadal (jidal/mujadalah) billati hiya ahsan, yaitu debat yang paling baik. Dari segi cara penyampaian, erdebatan itu disampaikan dengan cara yang lunak dan lembut, bukan cara yang keras dan kasar. Dari segi topik, semata terfokus pada usaha mengungkap kebenaran, bukan untuk mengalahkan lawan debat semata atau menyerang pribadinya. Dari segi argumentasi, dijalankan dengan cara menghancurkan kebatilan dan membangun kebenaran.

Sebagian mufassir memaknai jidal billati hiya ahsan (debat yang terbaik) secara global. Al-Fairuzabadi, misalnya, menafsirkan jidal billati hiya ahsan sebagai berdebat dengan al-Quran atau dengan kalimat Laa ilaaha illa Allah. Contohnya, menurut as-Suyuthi, adalah seperti seruan kepada Allah dengan ayat-ayatNYA dan seruan pada hujjah-hujjahNYA.

Pada penafsiran yang lebih rinci akan didapati perbedaan pendapat di kalangan para mufassir. Akan tetapi, perbedaan itu sesungguhnya dapat dihimpun (jama’) dan diletakkan dalam aspeknya masing-masing. Perbedaan itu dapat dikategorikan menjadi tiga aspek:

  1. Dari segi cara (uslub), sebagian mufassir menafsirkan jidal billati hiya ahsan sebagai cara yang lembut (layyin) dan lunak (rifq), bukan dengan cara keras lagi kasar. Inilah penafsiran Ibn Katsir, al-Baghawi, al-Baidhawi, al-Khazin, dan M. Abdul Mun’in al-Jamal.
  2. Dari segi topik (fokus) debat, sebagian mufassir menjelaskan bahwa jidal billati hiya ahsan sebagai debat yang dimaksudkan semata-mata untuk mengungkap kebenaran pemikiran, bukan untuk merendahkan atau menyerang pribadi lawan debat. Sayyid Quthub menerangkan bahwa jidal billati hiya ahsan bukan dengan jalan menghinakan (tardzil)/mencela (taqbih) lawan debat, tetapi berusaha meyakinkan lawan untuk sampai pada kebenaran.
  3. Dari segi argumentasi, sebagian mufassir menjelaskan bahwa argumentasi dalam jidal billati hiya ahsan mempunyai dua tujuan sekaligus, yaitu untuk menghancurkan argumentasi lawan (yang batil) dan menegakkan argumentasi kita (yang haq). Imam an-Nawawi al-Jawi menjelaskan bahwa tujuan debat adalah ifhamuhum wa ilzamuhum (untuk membuat diam lawan debat dan menetapkan kebenaran pada dirinya). Imam al-Alusi mencontohkan debatnya Nabi Ibrahim a.s. dengan Raja Namrudz. Jika kita dalami, dalam debat itu ada dua hal sekaligus; menetapkan kebenaran dan menghancurkan kebatilan (QS al-Baqarah [2]: 258).

Cara dakwah dengan mujadalah billati hiya ahsan ini tertuju kepada orang yang cenderung suka berdebat dan membantah, yang sudah tidak dapat lagi diseru dengan jalan hikmah dan maw’izhah hasanah.

metode penyampaian dakwah

Bagian akhir ayat memberikan arti, bahwa jika kita telah menyeru manusia dengan tiga jalan tersebut, maka urusan selanjutnya terserah Allah. Memberikan hidayah bukan kuasa manusia, melainkan kuasa Allah semata. Kita hanya berkewajiban menyampaikan (balagh); Allahlah yang akan memberikan petunjuk serta memberikan balasan, baik kepada yang menjdapat hidayah maupun yang tersesat.

 

 

Kepribadian/jatidiri (syakhshiyyah) manusia pada dasarnya dibentuk oleh ‘aqliyah (pola pikir) dan nafsiyah (pola jiwa). Jika dia Muslim dan pemahamannya Islami (bersumber dari akidah Islam) maka kepribadiannya berpotensi menjadi Islami. Sebaliknya, jika dia Muslim tetapi pemahamannya tidak Islami (tidak bersumber dari akidah Islam) maka secara pasti kepribadiannya tidak Islami; apalagi jika dia orang kafir.

Ada dua fenomena yang secara fisikal tampak pada manusia. Pertama: Performance (penampilan fisik) yang mencakup hal-hal mendasar seperti bentuk/struktur tubuh (tinggi, sedang, pendek; gemuk, kurus, proporsional; sempurna atau cacat), warna kulit (putih, sawo matang, coklat, hitam), bentuk wajah (cantik, manis, jelek) maupun mencakup aksesoris seperti pakaian dan perhiasan. Kedua: Perilaku yang mencakup semua ekspresi, tindakan dan aktivitas keseharian manusia. Dalam hal ini, jelas bahwa kepribadian manusia tidak dipengaruhi oleh performancenya, sebagaimana banyak disangka orang; tetapi lebih terkait dengan—atau dipengaruhi oleh—perilakunya.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (2004), dalam salah satu masterpiecenya, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah (jilid 2), memaparkan secara cerdas dan mudah dipahami ihwal kepribadian manusia ini. Menurut beliau, kepribadian/jatidiri (syakhshiyyah) manusia pada dasarnya dibentuk oleh ‘aqliyah (pola pikir) dan nafsiyah (pola jiwa). Kepribadian manusia ini tidak ada kaitannya dengan performance manusia. Semua itu hanya kulit luarnya saja. Kepribadian manusia hanya bisa dinilai dari pemikiran dan perilakunya. Perilakulah yang menunjukkan tinggi-rendahnya derajat manusia. Pasalnya, perilaku manusia bergantung pada pemahaman (mafahim)nya, yang terbentuk dari pemikirannya. Walhasil, perilaku manusia terkait erat dengan pemahaman (mafahim)nya dan tidak bisa dipisahkan. Perilaku (suluk) manusia tidak lain lahir dari dorongan—baik dari dalam maupun luar dirinya—untuk memenuhi kebutuhan jasmaniah (hajah udhawiyyah) maupun naluriah (gharizah)nya, yang lalu membentuk kecenderungan (muyul), yang kemudian dipengaruhi oleh pemahaman (mafahim)nya. Inilah pada akhirnya yang membentuk kepribadian manusia. Jika dia Muslim dan pemahamannya Islami (bersumber dari akidah Islam) maka kepribadiannya berpotensi menjadi Islami. Sebaliknya, jika dia Muslim tetapi pemahamannya tidak Islami (tidak bersumber dari akidah Islam) maka secara pasti kepribadiannya tidak Islami; apalagi jika dia orang kafir.

Pembentukan Kepribadian Manusia

Pembentukan Kepribadian Manusia

 

  1. ‘Aqliyyah (Pemikiran)

Mafahim (pemahaman) tidak lain merupakan pengertian yang dibangun atas dasar sebuah pemikiran (ma’ani al-fikr) yang memang faktual, bukan bersifat asumsi, apalagi fantasi. Contoh: Pemikiran tentang keberadaan Tuhan (sebagaimana diyakini kaum beragama) adalah bisa dipahami (mafhum). Sebaliknya, pemikiran tentang ketiadaan Tuhan (sebagaimana diyakini kaum ateis) adalah tidak bisa dipahami (ghayr mafhum) keberadaanNYA, karen mereka menganggap semuanya (manusia, alam semesta dan kehidupan) hanya dialektika materi semata. Mengapa? Sebabnya, keberadaan Tuhan adalah faktual (nyata); bisa dibuktikan melalui keberadaan manusia, alam raya dan kehidupan ini yang mustahil ada dengan sendirinya secara kebetulan. Kemustahilan ini sekaligus memustahilkan ketiadaan Tuhan sebagai sang Pencipta dan Pengatur manusia, alam raya dan kehidupan ini. Dengan kata lain, pemikiran tentang ketiadaan Tuhan hanyalah asumsi—bahkan fantasi—orang yang meyakininya (ateis); bukan sesuatu yang faktual (nyata).

Pemahaman (mafahim) manusia ini, sebagaimana telah dijelaskan, terbentuk karena akal/pemikirannya. Akal manusia itu sendiri terbentuk karena jalinan fakta (waqi’) yang dia indera dengan informasi (ma’lumah) yang dimilikinya, yang didasarkan pada sebuah keyakinan/akidah tertentu sebagai landasan berpikirnya. Karena itulah, aqliyyah berkaitan dengan akal dan sifat-sifatnya. Menurut Muhammad Husain Abdillah (1994), ‘aqliyyah (pola pikir) bisa dikatakan merupakan persepsi seseorang terhadap fakta yang dia indera dari sudut pandang tertentu. Jika sudut pandangnya Islami, yakni didasarkan pada akidah Islam, maka pemikirannya Islami. Jika sudut pandangnya tidak Islami maka pemikirannya juga tidak Islami. Islami atau tidak Islaminya sudut pandang seseorang tentu bergantung pada standar yang dia gunakan dalam mempersepsi/menilai fakta yang dihadapinya. Seorang Muslim tentu akan menjadikan halal-haram sebagai standar persepsi/penilaian atas fakta yang dihadapinya. Sebaliknya, orang kafir mungkin akan menggunakan standar manfaat-keburukan (mudharat) dalam mempersepsi/menilai fakta yang ada dihadapannya. Namun demikian, ada kalanya seorang Muslim menggunakan standar manfaat-mudharat bukan halal-haram.

Seorang Muslim yang pemikirannya Islami akan memandang nasi adalah halal; daging babi, minuman keras (khamr) dan narkoba adalah haram; shalat lima waktu, shaum Ramadhan, ibadah haji, berdakwah melakukan amar ma’ruf nahi munkar, menegakkan syariah dan berjihad fi sabilillah adalah wajib; zina, homoseksualitas, riba dan korupsi adalah haram; dan seterusnya. Sebaliknya, orang kafir atau Muslim yang pemikirannya tidak Islami, mungkin akan memandang halal bunga bank (riba), menghalalkan khamr, membolehkan lokalisasi pelacuran, mengharamkan poligami, memandang semua agama sama, tidak mewajibkan wanita Muslimah berkerudung dan berjilbab, memandang jihad sekedar memerangi hawa nafsu, menganggap menegakkan syariah Islam tidak wajib, dan seterusnya.

 Pola Pikir (‘Aqliyyah)

Pola Pikir

 

  1. Nafsiyyah (Pola Jiwa)

Nafsiyyah berasal dari kata nafsu (jiwa). Jadi, nafsiyyah adalah seluruh hal yang berkaitan dengan nafsu. Jiwa (nafsu) manusia—sebagai sesuatu yang fitri—berpotensi baik atau buruk, bergantung bagaimana ia dibentuk. Karena itu, lebih spesifik lagi, nafsiyyah bisa diartikan sebagai pola pembentukan jiwa (nafsu) hingga menjadi baik atau buruk. Dengan kata lain, nafsiyyah (pola jiwa) adalah cara manusia untuk memenuhi kebutuhan jasmaniah maupun naluriahnya berdasarkan standar pemahaman tertentu.

Sebagaimana telah terpapar di atas, nafsiyyah (pola jiwa) seseorang sangat dipengaruhi oleh pemahaman (mafahim)nya, yang bersumber dari keyakinan/akidah yang dimilikinya. Pemahamanlah yang membentuk ‘aqliyyah (pola pikir)nya sekaligus mempengaruhi pola jiwa (nafsiyyah)nya. Pengaruh pemahaman (mafhum) seseorang terhadap pola jiwa (nafsiyyah)nya sangatlah besar. Contoh: (Zaman Rasulullah ﷺ) Saat belum (turun ayat) khamr diharamkan, kaum Muslim  zaman itu terbiasa meminumnya. Namun, ketika wahyu Allah yang mengharamkan khamr turun (QS al-Maidah [5]: 91), seketika kaum Muslim meninggalkannya. Bahkan diriwayatkan, saat itu banyak jalanan di kota Madinah basah karena khamr yang ditumpahkan/dibuang oleh kaum Muslim saat itu. Begitupun saat wahyu yang mewajibkan kaum Muslimah mengenakan kerudung/khimar (QS an-Nur [24]: 31) dan jilbab (QS al-Ahzab [33]: 59) turun; seketika itu kaum Muslimah menutup seluruh tubuhnya dengan kedua jenis pakaian tersebut (khimar: pakaian menjulur dari atas kebawah kaki, longgar dan tidak transparan dan jilbab: penutup kepala menjulur hingga menutupi dada).

 Pola Jiwa (Nafsiyyah)

Pola Jiwa

Kepribadian Unik dan Kepribadian Ganda

Disadari ataupun tidak, kita sering dihadapkan pada dua model kepribadian manusia: kepribadian unik (khas) dan kepribadian ganda (kacau).

  1. Kepribadian Unik

Kepribadian unik (khas) adalah kepribadian yang ditunjukkan oleh menyatunya pola pikir (’aqliyyah) dengan pola jiwa (nafsiyyah) pada seseorang. Kepribadian unik ini biasanya dimiliki oleh orang-orang yang berpegang teguh pada ideologi (aturan hidup) tertentu; baik Islam, Sosialisme-Komunisme maupun Kapitalisme-Sekularisme. Karena itu, kita akan mudah membedakan seorang Muslim yang memegang teguh ideologi Islam dengan seseorang yang berpegang teguh dengan ideologi (aturan hidup) selain Islam. Seorang Muslim, misalnya, hanya akan mencari harta yang halal dalam hidupnya, betapapun sulitnya. Dia tidak akan menjual narkoba, terlibat dalam bisnis pelacuran, berjudi dan lain-lain yang diharamkan/dilarang oleh aturan hidup yang dipegangnya (ideologi) dan agamanya, meskipun itu akan menguntungkan dirinya. Pasalnya, dia selalu menjadikan halal-haram sebagai standar dalam bertindak dan berusaha; bukan manfaat. Sebaliknya, seorang Kapitalis, akan mencari harta dengan cara apapun; tidak peduli dia halal atau haram, juga tidak peduli apakah dibolehkan atau tidak oleh agamanya. Dia mungkin akan menjual narkoba, terlibat dalam bisnis seks, berjudi, menimbun harta dan lain-lain, selama itu mendatangkan keuntungan bagi dirinya. Pasalnya, dia akan selalu menjadikan manfaat-mudharat sebagai standar dalam bertindak dan berusaha; bukan halal-haram atau boleh-tidak boleh menurut agama dan ideologinya (aturan ke-akhiratan dan kehidupan dunia). Dalam berpolitik, misalnya, orang-orang kapitalis terkenal dengan jargon: tidak ada kawan atau musuh abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi. Akibatnya, hari ini seseorang bisa menjadi kawannya dalam berpolitik selama masih menguntungkan dirinya, namun esok-lusa dia bisa berubah menjadi musuhnya tatkala dianggap telah merugikan dirinya. Demikian juga sebaliknya.

 

  1. Kepribadian Ganda

Kepribadian ganda (kacau) adalah kepribadian yang ditunjukkan oleh tidak menyatunya pola pikir (‘aqliyyah) dengan pola jiwa (nafsiyyah) pada seseorang. Kepribadian ganda (kacau) ini biasanya dimiliki oleh orang-orang yang tidak ideologis. Mereka akan mudah ditemukan dalam komunitas masyarakat yang menganut agama non-Islam atau umat Islam yang hanya menjadikan Islam sebagai agama ritual dan spiritual belaka, tetapi aturan kehidupan di dunia (ideologi)nya tidak menggunakan aturan Islam  (contoh: pakaian, makanan-minuman, perilaku dan lain-lain dari  seorang Muslim tetapi tidak Islami). Di tengah-tengah komunitas masyarakat semacam ini kita akan sulit membedakan kepribadian seseorang dengan orang lain. Dalam dunia hiburan, misalnya, betapa sulit kita membedakan artis yang Muslim dengan non-Muslim. Mereka tidak bisa dibedakan dari cara bertutur kata, berpakaian atau berperilakunya. Pasalnya, artis Muslim banyak yang bertutur kata tidak Islami, mengumbar aurat, bergaul bebas, terlibat narkoba dan lain-lain; sebagaimana halnya artis-artis yang non-Muslim. Padahal mereka banyak yang mengaku Muslim dan tahu bahwa menutup aurat itu wajib, bergaul bebas (pacaran, teman tapi mesra, hubungan tanpa status dll) itu haram, mengkonsumsi narkoba itu terlarang, dan seterusnya. Mereka hanya bisa dibedakan dalam acara-acara ritual dan seremonial keagamaannya saja. Kita sering baru tahu artis itu Muslim saat di bulan Ramadhan, saat Umroh/Haji, saat menikah, saat menghadiri acara kematian keluarganya, dan lain-lain. Sebaliknya, saat mereka menyanyi, main sinetron/film, atau menjadi presenter, mereka tidak bisa dibedakan dengan artis-artis non-Muslim.

Kepribadian Ganda (Kacau)

Kepribadian Ganda

Kepribadian Manusia

Kepribadian manusia selalu menjadi tema yang menarik untuk diketahui, apalagi kepribadian kita sendiri. Rasa ingin tahu akan kepribadianlah yang membuat banyak orang pergi ke psikolog untuk menjalani tes-tes kepribadian. Semua ini dilakukan demi mengetahui, seperti apa sesungguhnya diri kita ini?

Usaha-usaha untuk menyusun teori dalam piskologi/kepribadian telah sejak lama dilakukan orang. Hasil-hasil dari usaha-usaha tersebut ada yang masih dianggap jauh dari nilai ilmiah (masih bersifat prailmiah) sperti: chirologi (ilmu gurat/garis tangan), astrologi (ilmu perbintangan), grafologi (ilmu tulisan tangan), phisiognomi (ilmu tentang wajah), phrenologi (ilmu tentang tengkorak) dan onychologi (ilmu tentang kuku).

Ada juga usaha-usaha yang dianggap lebih bermutu, seperti yang dilakukan oleh Hippocrates. Ia berpendapat bahwa pada diri sesorang terdapat 4 macam cairan tubuh yang mempengaruhi karakter: empedu kuning , empedu hitam; lender; darah merah. Galenus lalu menyempurnakan teori Hippocrates ini. Teori Galenus ini dijabarkan kembali oleh Florece Littauer dalam bukunya Personality Plus tentang kholeris, melankholis, phlegmatis dan sanguinis.

Masih banyak lagi teori-teori tentang kepribadaian seperti teori dari Edwar Spranger, Kurt Lewin, Carl Rogers, Jung, HJ Eysenck dan lain-lain. Pada tahun 2004, Taylor Hartman mencoba membedakan kepribadian manusia dengan menggunakan kode warna.

Menurut Hartman, setiap orang memiliki kepribadian dasar. Kepribadian seseorang telah terbentuk sejak nafas pertama ditiupkan ke dalam kandungan. Kepribadian seseorang memang dapat berkembang tetapi tidak akan keluar dari sifat-sifat inti atau dasarnya. Kepribadian adalah inti pikiran dan perasaan di dalam diri seserorang yang memberitahu bagimana ia membawa diri. Kepribadian merupakan daftar respon berdasakan nilai-nilai dan kepercayaan yang dipegang kuat. Kepribadian akan mengantarkan reaksi emosional sesorang disamping rasional  terhadap setiap pengalaman hidup. Dengan kata lain, kepribadian adalah proses aktif di dalam setiap hati dan pikiran seseorang yang menentukan bagaimana ia merasa beripikir dan berperilaku (Hartman, 2004).

Hartman lalu membagi tipe keprbadian menurut empat aspek dominan di dalam alam: api, tanah, air dan udara. Atas dasar ini, ia kemudian membedakan empat tipe kepribadian orang menurut kode warna, yaitu tipe kepribadian merah, biru, putih dan kuning. Kepribadian merah merepresentasikan sifat-sifat api (memiliki semangat yang membara dalam kehidupan); kepribadian biru merepresentasikan sifat-sifat tanah (kuat dan teguh dalam pendirian); kepribadian putih merepresentasikan sifat-sifat dasar air (mengalir dan mengikuti arus); kepribadian kuning merepresentasikan sifat-sifat angin (beritup kesana kemari).

Empat Tipe Kepribadian Manusia Menurut Hartman

 4 tipe kepribadian manusia

Kepribadian memang bersifat unik sehingga tidak ada satu orang pun yang sama persis dengan orang yang lain, meskipun terlahir kembar. Memang, ada jutaan variasi kepribadian. Namun, menurut Hartman (2004), kepribadian setiap orang dapat digolongkan menurut motif dasar, kebutuhan dan keinginan yang cenderung stabil sepanjang hayat.

Banyak cara orang untuk mengetahui kepribadian manusia. Selain dengan mengikuti tes-tes psikologi, banyak metode yang digunakan untuk mengetahui kepribadian. Diantaranya dengan menggunakan enneagram. Enneagram diartikan sebagai “sebuah gambar bertitik sembilan”. Metode ini dikabarkan telah ada sejak ratusan tahun yang lalu dan diajarkan secara lisan dalam suatu kelompok sufi di Timur Tengah hingga akhirnya mulai berkembang di Amerika Serikat sekitar tahun 1960-an. Kepribadian manusia dalam sistem enneagram terbagi menjadi 9 (sembilan) tipe. Renee Baron dan Elizabeth Wagele, lewat buku yang berjudul Enneagram, berusaha untuk menjelaskan kesembilan tipe tersebut agar lebih mudah dimengerti. Sembilan tipe kepribadian:

  1. Perfeksionis

Termotivasi oleh kebutuhan untuk hidup dengan benar, memperbaiki diri sendiri dan orang lain dan menghindari marah.

 

  1. Penolong

Termotivasi oleh kebutuhan untuk dicintai dan dihargai, mengekspresikan perasaan positif pada orang lain dan menghindari kesan membutuhkan.

 

  1. Pengejar Prestasi

Termotivasi oleh kebutuhan untuk menjadi orang yang produktif, meraih kesuksesan dan terhindar dari kegagalan.

 

  1. Romantis

Termotivasi oleh kebutuhan untuk memahami perasaan diri sendiri serta dipahami orang lain, menemukan makna hidup dan menghindari citra diri yang biasa-biasa saja.

 

  1. Pengamat

Termotivasi oleh kebutuhan untuk mengetahui segala sesuatu dan alam semesta, merasa cukup dengan diri sendiri dan menjaga jarak, serta menghindari kesan bodoh atau tidak memiliki jawaban.

 

  1. Pencemas

Termotivasi oleh kebutuhan untuk mendapatkan persetujuan, merasa diperhatikan dan terhindar dari kesan pemberontak.

 

  1. Petualang

Termotivasi oleh kebutuhan untuk merasa bahagia serta merencanakan hal-hal menyenangkan, memberi sumbangsih pada dunia, dan terhindar dari derita dan dukacita.

 

  1. Pejuang

Termotivasi oleh kebutuhan untuk dapat mengandalkan diri sendiri, kuat memberi pengaruh pada dunia dan terhindar dari kesan lemah.

 

  1. Pendamai

Termotivasi oleh kebutuhan untuk menjaga kedamaian, menyatu dengan orang lain dan menghindari konflik.

 

 

Meluruskan Kekeliruan

Jika kita mencermati berbagai teori psikologi maupun teori kepribadian yang selama ini berkembang, baik klasik maupun modern, termasuk beberapa teori psikologi/kepribadian di atas, kita akan menemukan sejumlah kelemahan mendasar di dalamnya. Kelemahan itu berakar pada perhatian berbagai teori tersebut yang hanya terfokus pada faktor psikis (kejiwaan) manusia, tanpa menyentuh aspek pemikirannya. Padahal pemikiranlah yang paling berpengaruh terhadap aspek psikis (kejiwaan) seseorang, sementara pemikiran sangat dipengaruhi oleh keyakinan, agama atau ideologinya.

Dalam komunitas masyarakat yang pemikirannya didominasi oleh paham/ideologi sekularisme, misalnya, yang menjadikan materi/keduniawian sebagai ukuran kebahagiaan, banyak individunya yang mengalami gangguan kejiwaan, dari mulai depresi ringan hingga stress berat. Padahal mungkin tingkat kemakmuran mereka sangat tinggi. Fenomena ini, misalnya, terjadi di Eropa, Amerika atau Jepang. Jepang bahkan memiliki rekor cukup tinggi dalam hal angka bunuh diri warganya. Pelarian mereka untuk lepas dari jeratan gangguan kejiwaan ini dengan cara mengkonsumsi minuman keras, narkoba atau seks bebas ternyata sering menuai kegagalan. Sebaliknya, dalam komunitas masyarakat yang pemikirannya didominasi oleh agama/ideologi Islam, yang menjadikan keridhaan Allah sebagai ukuran kebahagiaan, individu-individunya tidak mudah dilanda depresi, apalagi stress; meski mungkin secara ekonomi tak bisa dikatakan makmur/sejahtera.

Sebagai contoh lain, fenomena menarik terjadi di Irak, terutama sejak invasi Amerika dan Sekutunya. Sudah banyak dikabarkan, puluhan ribu tentara Amerika yang diterjunkan dalam kancah Perang Irak mengalami depresi hingga stress berat. Sebaliknya, tidak banyak dilaporkan para pejuang Muslim Irak mengalami hal yang sama. Fenomena ini mudah dipahami dengan satu alasan: dalam berjihad melawan orang-orang kafir, pasukan Muslim biasanya berperang demi mencari syahadah (mati syahid) yang diyakini sebagai kebajikan paling puncak; sementara orang-orang kafir berperang justru demi mencari kemenangan dan takut akan kematian. Tentu gampang dibayangkan adanya perbedaan—dari aspek psikis (kejiwaan)—antara pasukan yang berperang demi mencari kematian (sebagai satu-satunya pintu masuk surga) dan pasukan yang berperang dengan dibayang-bayangi rasa takut akan kematian (sebagai pintu keluar dari kebahagiaan).