Category: Memahami Dasar Islam


Allah SWT berfirman:

[ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ [النحل: 125

Serulah mereka ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu adalah Yang Lebih Mengetahui siapa yang tersesat dari jalanNYA dan Yang Lebih Mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

(QS an-Nahl [16]: 125).

Ayat di atas menerangkan tiga metode (thariqoh) penyampaian dakwah atau pengembanan risalah. Ada cara yang berbeda untuk sasaran dakwah yang berbeda.

Pertama: dengan hikmah, maksudnya dengan dalil (burhan) atau hujjah yang jelas (qoth’i maupun zhanni) sehingga menampakkan kebenaran dan menghilangkan kesamaran. Sebagian mufassir seperti as-Suyuthi, al-Fairuzabadi, dan al-Baghawi mengartikan hikmah sebagai al-Quran. Ibnu Katsir menafsirkan hikmah sebagai apa saja yang diturunkan Allah berupa al-Kitab dan as-Sunnah.

Penafsiran tersebut tampaknya masih global. Mufassir lainnya lalu menafsirkan hikmah secara lebih rinci, yakni sebagai hujjah atau dalil. Sebagian mensyaratkan hujjah  itu harus bersifat qoth’i (pasti), seperti an-Nawawi al-Jawi. Yang lainnya, seperti al-Baidhawi, tidak mengharuskan sifat qoth’i,  tetapi menjelaskan karakter dalil itu, yakni kejelasan yang menghilangkan kesamaran. An-Nawawi al-Jawi menafsirkan hikmah sebagai hujjah yang qoth’i yang menghasilkan aqidah yang meyakinkan. An-Nisaburi menafsirkan hikmah sebagai  hujjah yang qoth’i yang dapat menghasilkan keyakinan. Al-Baidhawi dan Al-Khazin mengartikan hikmah dengan ucapan yang tepat (al-muqalah al-muhkamah), yaitu dalil yang menjelaskan kebenaran dan menyingkirkan kesamaran (ad-dalil al-muwadhdhih li al-haq wa alimunzih li asy-syubhah). Al-Asyqar menafsirkan hikmah dengan ucapan yang tepat dan benar (al-muqalah al-muhakkamah ash-shahibah).

Pertama, Jumhur mufassir menafsirkan kata hikmah dengan hujjah atau dalil. Dari ungkapan para mufassir di atas juga dapat dimengerti, bahwa hujjah yang dimaksud adalah hujjah yang bersifat rasional (‘aqliyyah/fikriyyah), yakni hujjah yang tertuju kepada akal. Alasannya, para mufassir seperti al-Baidhawi, al-Alusi, an-Nisaburi, al-Khazin, dan an-Nawawi al-Jawi mengaitkan seruan dengan hikmah ini kepada sasarannya yang spesifik, yakni golongan yang mempunyai kemampuan berpikir sempurna. Cara dakwah dengan hikmah ini tertuju kepada mereka yang ingin mengetahui hakikat kebenaran yang sesungguhnya, yakni mereka yang memiliki kemampuan berpikir yang tinggi atau sempurna, seperti para pemikir dan cendekiawan.

Kedua, dengan maw’izhah hasanah, yaitu peringatan yang baik yang dapat menyentuk akal dan hati (perasaan). Misalnya dengan menyampaikan aspek targhib (memberi dorongan/pujian) dan tarhib (memberi peringatan/celaan) ketika menyampaikan hujjah. Sebagian mufassir menafsirkan maw’izhah hasanah (nasihat/peringatan yang baik) secara global, yaitu nasihat atau peringatan al-Quran (mawa’izh al-Quran). Demikian pendapat al-Fairuzabadi, as-Suyuthi dan al-Baghawi. Namun, as-Suyuthi dan al-Baghawi sedikit menambahkan, dapat juga maknanya adalah perkataan yang lembut (al-qawl ar-raqiq).

Merinci tafsiran global tersebut, para mufassir menjelaskan sifat maw’izhah hasanah sebagai suatu nasihat yang tertuju pada hati (perasaan), tanpa meninggalkan karakter nasihat itu yang tertuju pada akal. Sayyid Quthub menafsirkan maw’izhah hasanah sebagai nasihat yang masuk ke dalam hati dengan lembut (tadhkulu il-a al-qulub bi rifq). An-Nisaburi menafsirkan maw’izhah hasanah sebagai dalil-dalil yang memuaskan (ad-dalala’il al-iqna’iyyah), yang tersusun untuk mewujudkan pembenaran (tashdiq) berdasarkan premis-premis yang telah diterima. Al-Baidhawi dan al-Alusi menafsirkan maw’izhah hasanah sebagai seruan-seruan yang memuaskan/meyakinkan (al-khithabat al-muqni’ah) dan ungkapan-ungkapan yang bermanfaat (al-‘ibar an-nafi’ah). An-Nawawi al-Jawi menafsirkan sebagai tanda-tanda yang bersifat zhanni (al-amarat azh-zhanniyah) dan dalil-dalil yang memuaskan. Al-Khazin menafsirkan maq’izhah hasanah dengan targhib (memberi dorongan untuk menjalankan ketaatan) dan tarhib (memberikan ancaman/eringatan agar meninggalkan kemaksiatan).

Dari berbagi tafsir itu, karakter nasihat yang tergolong maw’izhah hasanah ada dua:

  1. Menggunakan ungkapan yang tertuju pada akal. Ini terbukti dengan ungkapan yang digunakan para mufassir, seperti an-Nisaburi, al-Baidhawi, dan al-Alusi, akni kata dala’il (bukti-bukti), muqaddimah (premis), dan khithab (seruan). Semua ini jelas berkaitan dengan fungsi akal untuk memahami.
  2. Menggunakan ungkapan yang tertuju pada hati/perasaan. Terbukti, para mufassir menyifati dalil itu dengan aspek kepuasan hati atau keyakinan. AN-Naisaburi, misalnya, menggunakan kata dala’il iqna’iyyah (dalil yang menimbulkan kepuasan/keyakinan). Al-Baidhawi dan al-Alusi menggunakan ungakapan al-khithabat al-muqni’ah (ungkapan-ungkapan yang memuaskan). Adanya kepuasan dan keyakinan (‘iqna) jelas tidak akan terwujud tanpa proses pembenaran dan kecondongan hati. Semua ini berkaitan dengan fungsi hati untuk meyakini atau puas terhadap sesuatu dalil. Diantara upaya untuk menyentuh perasaan adalah menyampaikan tarhib dan targhib, sebagaimana ditunjukkan oleh al-Khazin.

Cara dakwah dengan maw’izhah hasanah ini tertuju kepada masyarakat secara umum. Mereka adalah orang-orang yang taraf berpikirnya di bawah golongan yang diseru dengan hikmah, namun masih dapat berpikir dengan baik dan mempunyai fitrah dan kecenderungan yang lurus. Demikian menurut al-Baidhawi, al-Alusi, an-Nisaburi, al-Khazin dan an-Nawawi al-Jawi.

Ketiga, dengan jadal (jidal/mujadalah) billati hiya ahsan, yaitu debat yang paling baik. Dari segi cara penyampaian, erdebatan itu disampaikan dengan cara yang lunak dan lembut, bukan cara yang keras dan kasar. Dari segi topik, semata terfokus pada usaha mengungkap kebenaran, bukan untuk mengalahkan lawan debat semata atau menyerang pribadinya. Dari segi argumentasi, dijalankan dengan cara menghancurkan kebatilan dan membangun kebenaran.

Sebagian mufassir memaknai jidal billati hiya ahsan (debat yang terbaik) secara global. Al-Fairuzabadi, misalnya, menafsirkan jidal billati hiya ahsan sebagai berdebat dengan al-Quran atau dengan kalimat Laa ilaaha illa Allah. Contohnya, menurut as-Suyuthi, adalah seperti seruan kepada Allah dengan ayat-ayatNYA dan seruan pada hujjah-hujjahNYA.

Pada penafsiran yang lebih rinci akan didapati perbedaan pendapat di kalangan para mufassir. Akan tetapi, perbedaan itu sesungguhnya dapat dihimpun (jama’) dan diletakkan dalam aspeknya masing-masing. Perbedaan itu dapat dikategorikan menjadi tiga aspek:

  1. Dari segi cara (uslub), sebagian mufassir menafsirkan jidal billati hiya ahsan sebagai cara yang lembut (layyin) dan lunak (rifq), bukan dengan cara keras lagi kasar. Inilah penafsiran Ibn Katsir, al-Baghawi, al-Baidhawi, al-Khazin, dan M. Abdul Mun’in al-Jamal.
  2. Dari segi topik (fokus) debat, sebagian mufassir menjelaskan bahwa jidal billati hiya ahsan sebagai debat yang dimaksudkan semata-mata untuk mengungkap kebenaran pemikiran, bukan untuk merendahkan atau menyerang pribadi lawan debat. Sayyid Quthub menerangkan bahwa jidal billati hiya ahsan bukan dengan jalan menghinakan (tardzil)/mencela (taqbih) lawan debat, tetapi berusaha meyakinkan lawan untuk sampai pada kebenaran.
  3. Dari segi argumentasi, sebagian mufassir menjelaskan bahwa argumentasi dalam jidal billati hiya ahsan mempunyai dua tujuan sekaligus, yaitu untuk menghancurkan argumentasi lawan (yang batil) dan menegakkan argumentasi kita (yang haq). Imam an-Nawawi al-Jawi menjelaskan bahwa tujuan debat adalah ifhamuhum wa ilzamuhum (untuk membuat diam lawan debat dan menetapkan kebenaran pada dirinya). Imam al-Alusi mencontohkan debatnya Nabi Ibrahim a.s. dengan Raja Namrudz. Jika kita dalami, dalam debat itu ada dua hal sekaligus; menetapkan kebenaran dan menghancurkan kebatilan (QS al-Baqarah [2]: 258).

Cara dakwah dengan mujadalah billati hiya ahsan ini tertuju kepada orang yang cenderung suka berdebat dan membantah, yang sudah tidak dapat lagi diseru dengan jalan hikmah dan maw’izhah hasanah.

metode penyampaian dakwah

Bagian akhir ayat memberikan arti, bahwa jika kita telah menyeru manusia dengan tiga jalan tersebut, maka urusan selanjutnya terserah Allah. Memberikan hidayah bukan kuasa manusia, melainkan kuasa Allah semata. Kita hanya berkewajiban menyampaikan (balagh); Allahlah yang akan memberikan petunjuk serta memberikan balasan, baik kepada yang menjdapat hidayah maupun yang tersesat.

 

 

Semakin tinggi sebuah institusi atau kelompok, maka semakin besar pula daya ubahnya. Kelompok terkecil di dunia ini adalah keluarga inti, jika pemimpinnya (kepala keluarga) menerapkan suatu peraturan, maka seluruh anggota keluarga tersebut mau tidak mau; terpaksa atau sukarela; pasti akan dan harus mentaati aturan dan perintah kepala keluarga tersebut. Institusi terbesar saat ini adalah negara, jika negara memberlakukan suatu peraturan maka mau tidak mau; terpaksa atau sukarela; warga negaranya akan patuh dan taat pada peraturan tersebut. Karena jika tidak patuh pasti akan ada sanksi yang dikenakan kepada pelanggarnya. Sanksi/hukuman yang baik adalah hukuman yang pasti berefek jera (jawabir) dan juga berfungsi sebagai penebus dosa (zawajir). Jika hukuman tidak memiliki kedua unsur tersebut, maka akan ada pelanggar-pelanggar lainnya, karena tidak ada ketakutan/kejeraan terhadap suatu hukuman dan melihat pelaku sebelumnya baik-baik saja dalam menjalani hukuman tersebut.

Jika individu sedang melakukan kemunkaran, lalu dicegah oleh individu lain, maka yang akan terjadi adalah perkelahian. Oleh karena itu harus dicegah oleh institusi atau kelompok yang lebih besar.

Contoh: Seorang pemuda sedang menenggak minuman keras, jika dicegah oleh seseorang tentu akan terjadi perkelahian, tetapi jika dicegah dan diperingatkan oleh RT/Kades beserta warga tentu si pemabuk ini akan berhenti dan mengikuti aturan yang ada di masyarakat.

Jika yang berbuat kemunkaran itu kelompok, maka kelompok lain tidak bisa mencegahnya, karena akan terjadi bentrok antar kelompok. Maka harus diselesaikan oleh institusi yang lebih besar lagi, yaitu negara.

Contoh: Sebuah kelompok agama sesat sedang menyesatkan suatu wilayah, maka jika kelompok lain yang menindaknya pasti akan terjadi bentrok dan keributan diantara kelompok tersebut. Tetapi jika negara yang menyelesaikan dengan metindak tegas terhadap kelompok sesat ini, maka akan selesai dengan cepat dan sampai ke akar-akarnya.

Jika kemunkaran ini dilakukan oleh negara, maka kelompok dan individu tidak akan mampu untuk menyelesaikan masalah ini. Harus ditindak dengan negara yang lebih besar.

Contoh: Jika Amerika dan sekutu-sekutunya berbuat dzalim kepada negara-negara Muslim seperti Mesir, Iraq, Afganistan, Palestina dan lain-lain. Maka harus dicegah dan ditindak oleh negara yang lebih kuat dan lebih besar lagi. Seharusnya PBB mampu menyelesaikan permasalahan ini, akan tetapi yang membuat PBB adalah mereka juga, dan anggota PBB pun tidak ada yang berani melawan negara adidaya tersebut, paling hebat yang mereka lakukan adalah mengutuk dengan statement saja. Sedangkan kejahatan Militer hanya dapat dilawan dengan Militer lagi. Maka untuk menyelesaikan permasalahan ini harus dengan ditegakkannya negara yang lebih besar dari negara Amerika dan sekutunya. Saat ini (diolah dari beberapa sumber) jumlah Muslim dunia sudah mencapai 2,4 M jiwa. Jika umat Muslim ini bersatu dalam sebuah negara, maka akan menjadi negara terbesar dan terkuat di dunia ini. Dengan kekuatan yang besar tersebut, tentu gabungan Militernya pun akan sangat kuat. Apalagi dengan janji dari Allah sebagai reward yang menjamin para mujahidin (pejuang yang ikut perang) mendapatkan freepass ke surgaNYA tanpa hisab beserta 40 freepass masuk surga tambahan bagi siapa saja yang diinginkan mujahid tersebut, tentu akan menjadi pendongkrak keberanian dan kekuatan yang amat sangat kuat bagi Militer kaum Muslim. Bahkan sangat mungkin akan banyak sipil yang mendaftarkan diri masuk Militer.

Pelaku atau pihak yang dibebani kewajiban berdakwah ada tiga:

  1. Negara/penguasa

Contoh dakwah negara: menerapkan syariah Islam atau hukum-hukum Allah atas semua warga negaranya, baik Muslim ataupun non-Muslim; menegakkan jihad fi sabilillah (jihad offensive/futuhat) yaitu dakwah Pemimpin Negara Islam ke penguasa negara lain yang belum tunduk dengan hukum dari Pemilik Bumi ini, melalui pemerintah dan militernya agar tunduk kepada hukum Islam sehingga warga/rakyat negara tersebut dapat memeluk agama Islam, jika negara tersebut menolak yang diperangi adalah militer dan penguasanya saja (sebagai penghalang masuknya cahaya Islam ke negara tersebut) setelah itu Islam pasti menerangi negara tersebut, bagi warga yang tidak mau masuk Islam tetapi masih tinggal di wilayah negara Islam maka disebut dengan kafir dzimi; untuk menyebarluaskan Islam ke seluruh penjuru dunia; memberlakukan hudud ataupun ta’zir atau sanksi atas setiap pelanggaran hukum Islam. (termasuk meninggalkan shalat dan puasa).

Dalam suatu hadis disebutkan:

Rasulullah ﷺ tidak pernah memerangi suatu kaum melainkan sesudah terlebih dulu menyampaikan dakwah Islam kepada mereka.

(HR Ahmad, al-Hakim dan ath-Thabrani).

Sulaiman ibn Buraidah menuturkan riwayat dari ayahnya, bahwa Rasulullah ﷺ yang saat itu telah menjadi Kepala Negara Islam (Daulah Islamiyah), jika mengangkat seorang Amir untuk memimpin pasukan militer atau sebuah detasemen, selalu memberikan nasihat, khusus bagi dirnya agar bertaqwa kepada Allah dan berbuat kebajikan kepada orang-orang yang ikut bersamanya. Rasulullah ﷺ kemudian bersabda:

Berperanglah atas nama Allah dan di jalan Allah. Perangilah oleh kalian orang-orang yang kafir kepada Allah. Jika kalian bertemu dengan musuh kalian dari kalangan orang-orang musrik maka berilah mereka tiga pilihan. Apapun yang mereka pilih sebagai respon atas kalian, terimalah, dan cukuplah hal itu bagi mereka. Kemudian serulah mereka agar masuk Islam. Jika mereka menyambut seruan kalian, terimalah mereka, dan cukuplah hal itu bagi mereka. (HR Muslim).

Allah SWT berfirman:

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ 

Perangilah orang-orang kafir itu oleh kalian hingga tidak ada lagi fitnah (kekufuran) dan agama ini seluruhnya hanya milik Allah

(QS al-Anfal [8]: 39).

Hadis dan ayat al-Quran di atas menjelaskan kedudukan Rasulullah ﷺ sebagai kepala negara (penguasa) yang menjalankan aktivitas dakwah terlebih dulu (yaitu mengajak orang-orang kafir agar masuk Islam atau bersedia tunduk di bawah kekuasaan Islam), sebelum—jika mereka menolak—melakukan jihad fi sabilillah untuk membuka dan mengubah darul kufur  menjadi Darul Islam. Oleh sebab itulah dalam kurun waktu yang cukup singkat (22 tahun) setelah (hijrah) tegaknya Daulah Islamiyah di Madinah cahaya Islam sudah sampai ke Bumi Nusantara. Sehingga Negara Islam menjadi negara terbesar meliputi 2/3 bumi ini, dari Maroko hingga ke Merauke.

 

  1. Jamaah/kelompok

Contoh: mendirikan jamaah/kelompok/partai(kata hizb: disebutkan -+ 7 kali dalam al-Quran) dakwah, yang berperan mendakwahkan Islam serta melakukan muhasabah (kontrol/kritik/nasihat) kepada penguasa agar penguasa tetap tegak di atas aturan Islam. Allah SWT berfirman:

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan ke tengah-tengah umat manusia agar kalian memerintahkan kebajikan dan mencegah kemunkaran sementara kalian beriman kepada Allah.

(QS Ali Imran [3]: 110).

 وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Hendaklah ada diantara kalian segolongan umat yang menyerukan kebajikan (Islam) serta melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.

(QS Ali Imran [3]: 104).

 

  1. Individu

Dalam hal ini Allah SWT berfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحاً وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ  

Siapakah yang lebih baik ucapannya daripada orang yang menyeru manusia ke jalan Allah, mengerjakan amal salih dan berkata, “Sesungguhnya aku termasuk golongan kaum Muslim (yang berserah diri).”

(QS Fusilat [41]: 33).

Ayat di atas ditunjukkan kepada setiap individu Muslim untuk menjalankan aktivitas dakwah Islam. Banyak juga hadis Rasulullah ﷺ yang menjelaskan status kewajiban atas setiap Muslim untuk mengemban dakwah sebagai wujud dan manifestasi dari kesaksian (iman) mereka kepada Allah SWT. diantaranya adalah sabda Rasulullah ﷺ sebagaimana yang dituturkan Abu Dzar al-Ghifari berikut:

Siapa saja yang bangun pagi, sementara ia hanya memperhatikan masalah dunianya, maka ia tidak berguna apa-apa di sisi Allah. Siapa saja yang tidak memperhatikan urusan kaum Muslim maka ia tidaklah termasuk golongan mereka.”

(HR ath-Thabrani).

 Pelaku Dakwah

littleriver

Kewajiban Berdakwah

Pada dasarnya, setiap Muslim dan Muslimah diwajibkan untuk mendakwahkan Islam kepada orang lain, baik Muslim maupun non-Muslim, sesuai dengan kadar kemampuannya. Ketentuan semacam ini didasarkan pada beberapa nash al-Quran maupun as-Sunnah. Allah SWT berfirman:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik serta bantahlah mereka dengan cara baik. Sesungguhnya Tuhanmu, DIA lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalanNYA, dan DIA lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.

(QS an-Nahl [16]: 125).

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Hendaklah ada diantara kalian segolongan umat yang menyerukan kebajikan serta melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung.

(QS Ali Imran [3]: 104).

Masih banyak ayat-ayat lain yang menunjukkan kewajiban dakwah atas kaum Mukmin, baik dakwah yang dilakukan oleh individu, kelompok ataupun negara. Dalam hal ini, al-Qurthubi menyatakan, “Allah SWT telah menjadikan amar ma’ruf nahi munkar sebagai faktor pembeda antara orang-orang Mukmin dan orang-orang munafik. Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik dan sifat yang paling menonjol pada kaum Mukmin adalah amar ma’ruf nahi munkar dan puncaknya adalah dakwah Islam.” (Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, jilid 4, hlm 47).

Rasulullah ﷺ bersabda:

Demi Zat yang jiwaku berada dalam kekuasaanNYA, kalian mesti melakukan amar ma’ruf nahi munkar, atau Allah akan menurunkan siksa dari sisiNYA atas kalian hingga jika kalian berdoa maka DIA tidak akan mengabulkan doa kalian.

(HR at-Tirmidzi).

Sampaikanlah apa saja diriku walaupun hanya satu ayat.

(HR al-Bukhari).

Siapa saja yang melihat kemunkaran, hendaknya dia mengubah dengan tangannya; jika tidak mampu, hendaklah dia mengubahnya dengan lisannya; jika tidak mampu, hendaklah dia mengubahnya dengan hatinya dan ini adalah selemah-lemah iman.

(HR Muslim).

Kewajiban dakwah sama dengan kewajiban-kewajiban yang lain. Jika seseorang meninggalkan dakwah, ia akan mendapatkan dosa, seperti halnya jika ia meninggalkan sholat, zakat, puasa dan ibadah-ibadah lainnya. Bahkan jika seseorang meninggalkan aktivitas dakwah dan berdiam diri terhadap kemunkaran, niscaya Allah SWT tidak akan mengabulkan doa-doanya. Lebih dari itu, Allah juga akan menimpakan azab secara merata, tidak hanya atas orang yang melakukan kemaksiatan saja, tetapi semua orang yang ada di dalam komunitas tersebut jika dakwah telah ditinggalkan. Rasulullah ﷺ bersabda:

Sesungguhnya Allah tidak akan mengazab orang-orang secara keseluruhan akibat perbuatan munkar yang dilakukan oleh seseorang, kecuali jika mereka melihat kemunkaran itu di depannya dan mereka sanggup mencegahnya tetapi mereka tidak mencegahnya. Jika mereka melakukan yang demikian, niscaya Allah akan mengazab pelaku kemunkaran tersebut dan semua orang secara menyeluruh.

(HR Imam Ahmad).

Nash-nash al-Quran dan as-Sunnah di atas merupakan dalil yang terang dan tegas mengenai kewajiban dakwah atas setiap Muslim. Pasalnya, perintah untuk berdakwah datang dalam bentuk pasti. Indikasinya adalah ancaman siksaan atas siapa saja yang meninggalkan dakwah.

images