Tag Archive: Demokrasi


Tahun 2013 yang lalu merupakan tahun pemanasan politik di Indonesia karena tahun 2014 digelar hajatan Pemilihan Umum (Pemilu). Demokrasi pun masih dianggap kompatibel diterapkan di Indonesia. Padahal mayoritas penduduknya adalah umat Islam.

Umat masih silau dengan janji demokrasi berupa keadilan dan kesejahteraan. Sebaliknya, mereka takut dicap anti-demokrasi.

Terdapat juga di kalangan umat yag menyamakan Islam dengan demokrasi. Bahkan ada yang memaksakan Demokrasi-Islam sebagai tambal sulam dari Demokrasi-Kapitalisme yang gagal.

Apa itu Demokrasi

Demokrasi adalah (bentuk atau sistem) pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya; pemerintahan rakyat (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Dalam demokrasi kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Pemerintahan dijalankan langsung oleh mereka atau oleh wakil-wakil yang mereka pilih di bawah setiap pemilihan bebas. Sebagaimana ucapan Abraham Lincoln bahwa demokrasi adalah suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Dalam setting sosio-historisnya di Barat, demokrasi lahir sebagai solusi dari dominasi gereja yang otoritarian dan absolut sepanjang Abad Pertengahan (abad V-XV M). Di satu sisi ekstrem, dominasi gereja yang berkolaborasi dengan para raja Eropa menghendaki tunduknya seluruh urusan kehidupan (politik, ekonomi, seni, sosial dan lain-lain) pada aturan-aturan gereja. Di sisi ekstrem lainnya, dominasi gereja ini ditentang oleh para filosof dan pemikir yang menolak secara mutlak peran gereja (Katolik) dalam kehidupan.

Terjadinya Reformasi Gereja, Renaissance dan Humanisme, menjadi titik tolak awal untuk meruntuhkan dominasi gereja itu. Akhirnya, pasca Revolusi Perancis tahun 1789, terwujudlah jalan tengah dari dua sisi ekstrem itu, yang terumuskan dalam paham sekularisme, yakni paham pemisahan agama dari kehidupan. Agama tidak diingkari secara total, tetapi masih diakui walaupun secara terbatas, yaitu hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan (Tuhan hanya ada di gereja/tempat ibadah). Lalu hubungan manusia dengan manusia siapakah yang mengatur dan membuat hukumnya? Jawabannya, (karena di luar tempat ibadah tidak ada Tuhan) tentu manusia itu sendiri, bukan Tuhan atau agama. Pada titik inilah demokrasi lahir.

Walhasil, demokrasi memberikan kepada manusia dua hal:

  1. Hak membuat hukum (Legislasi). Inilah prinsip kedaulatan rakyat (as-siyadah li al-syar’i). Prinsip ini kebalikan dari kondisi sebelumnya, yaitu hukum dibuat oleh para tokoh-tokoh gereja atas nama Tuhan.
  2. Hak memilih penguasa. Inilah prinsip kekuasaan rakyat (as-sulthan li al-ummah). Prinsip ini kebalikan dari kondisi sebelumnya, yaitu penguasa (raja) diangkat oleh Tuhan sebagai wakil Tuhan di muka bumi dalam sistem monarki absolut. Jadi, dalam demokrasi, rakyat adalah sumber legislasi dan sumber kekuasaan (source of legislation and authority).

Demokrasi sesungguhnya adalah seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan. Demokrasi juga mencakup seperangkat praktik dan prosedur yang terbentuk melalui sejarah panjang dan sering berliku-liku. Pendeknya, demokrasi adalah pelembagaan dari kebebasan. Maka dari itu munculah kebebasan disegala aspek kehidupan. Sistem demokrasi melahirkan beberapa poin yang akhirnya menjadi sokoguru demokrasi: (a) kedaulatan rakyat; (b) pemerintah berdasarkan persetujuan dari yang diperintah; (c) kekuasaan mayoritas; (d) hak-hak minoritas; (e) jaminan HAM; (f) pemilihan yang bebas dan jujur; (g) persamaan di depan hukum; (h) proses hukum yang wajar; (i) pembatasan pemerintahan secara konstitusional; (j) pluralisme sosial, ekonomi dan politik; (k) nilai-nilai toleransi, pragmatisme kerja sama dan mufakat.

Demokrasi vs Islam

Jelaslah, demokrasi merupakan ideologi buatan manusia. Akidahnya memisahkan agama dari kehidupan (sekular), kontradiksi dengan akidah Islam. Sistemnya juga menyalahi sistem Islam karena tidak bersandar pada wahyu Allah SWT. Demokrasi hanya bersandar pada rakyat. Keburukan yang menonjol dari demokrasi adalah suara mayoritas dalam menentukan kebenaran. Jelas sekali demokrasi bertentangan dengan Islam (Lihat: QS al-An’am [6]: 116).

Islam mengharamkan demokrasi karena tiga alasan. Pertama: perekayasa ide demokrasi adalah negara-negara kafir Barat. Hal ini merupakan agresi ke Dunia Islam. Siapapun yang menerima dan mendorong demokrasi merupakan antek penjajah dan kroni penjajah serta menjadi penguasa boneka Barat. Kedua: demokrasi merupakan pemikiran utopis, tidak layak diimplementasikan. Manakala suatu negara menerapkan demokrasi, mereka sering melakukan kebohongan, manipulasi dan rekayasa sehingga menyesatkan umat manusia, seperti dalam penyusunan hukum dan undang-undang. Ketiga: sistem demokrasi adalah sistem buatan manusia. Sistem tersebut disusun manusia untuk manusia. Pasalnya, manusia tidak bisa lepas dari kesalahan. Sesungguhnya hanya Allah yang terbebas dari kesalahan. Karena itu, hanya sistem dari Allah saja yang patut dianut. Dengan demikian demokrasi merupakan sistem kufur karena tidak bersumber dari syariah Islam.

Dalam buku Mafahim Siyasiyah li Hizb at-Tahr (2005) dijelaskan, demokrasi itu kufur bukan karena konsepnya bahwa rakyat menjadi sumber kekuasaan, melainkan karena konsepnya manusia berhak membuat hukum (kedaulatan di tangan rakyat). Kekufuran demokrasi dari segi konsep kedaulatan tersebut sangat jelas. Sebab, munurut ‘Aqidah Islam, yang berhak membuat hukum hanya Allah SWT, bukan manusia (QS al-An’am [6]: 57). Itulah titik kritis dalam demokrasi yang sungguh bertentangan secara frontal dengan Islam. Memberi hak kepada manusia untuk membuat hukum adalah suatu kekufuran (QS al-Ma’idah [5]: 44).

Abdul Qadim Zallum (1990: 4) menjelaskan adanya kontradiksi-kontradiksi lain antara demokrasi dan Islam, antara lain:

  1. Dari segi sumber. Ddemokrasi berasal dari manusia dan merupakan produk akal manusia. Sebaliknya, Islam berasal dari Allah SWT melalui wahyu yang diturunkan Allah SWT kepada RasulNYA Muhammad ﷺ.
  2. Dari segi asas. Demokrasi asasnya adalah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Islam asasnya ‘Aqidah Islamiyah yang mewajibkan penerapan suariah Islam dalam segala bidang kehidupan (QS al-Baqarah [2]: 208).
  3. Dari segi standar pengambilan pendapat. Demokrasi menggunakan standar mayoritas. Dalam Islam, standar yang dipakai tergantung materi yang dibahas. Rinciannya: (I) jika materinya menyangkut status hukum syariah, standarnya adalah dalil syariah terkuat, bukan suara mayoritas; (II) jika materinya menyangkut aspek-aspek teknis dari suatu aktivitas, standarnya suara mayoritas; (III) jika materinya menyangkut aspek-aspek yang memerlukan keahlian standarnya adalah pendapat yang paling ahli dibidangnya, bukan suara mayoritas.
  4. Dari segi ide kebebasan. Demokrasi menyerukan 4 (empat) jenis kebebasan (al-huriyat). (1) kebebasan memeluk (masuk, pindah dan keluar) agama; (2) kebebasan berpendapat (kepada non-muslim); (3) kebebasan hak kepemilikan (seharusnya milik negara/rakyat menjadi milik pribadi); (4) kebebasan berperilaku (walaupun perilaku binatang). Kebebasan adalah tidak adanya keterikatan dengan apa pun pada saat melakukan aktivitas. Sebaliknya, Islam tidak mengakui kebebasan dalam pengertian Barat. Islam justru mewajibkan keterikatan manusia dengan syariah Islam.

Dengan demikian, demokrasi yang telah dijajakan Barat yang kafir ke negeri-negeri Islam sesungguhnya merupakan sistem kufur. Tidak ada hubungannya dengan Islam sama sekali, baik secara langsung maupun tidak langsung. Demokrasi sangat bertentangan dengan hukum-hukum Islam, baik secara garis besar maupun secara rinciannya. Oleh karena itu, kaum Muslim diharamkan secara mutlak untuk mengambil, menerapkan dan menyebarluaskan demokrasi. Apalagi mengaitkan demokrasi dengan Islam.

Syuro bukan Demokrasi

Anggapan bahwa syuro (musyawarah) sama dengan demokrasi telah masyur didengar meski anggapan ini sesungguhnya tidak benar. Anggapan itu muncul karena kafir penjajah sukses menyembunyikan kebusukan demokrasi. Demokrasi dijadikan oleh kafir Barat sebagai salah satu penjajahan atas negeri-negeri kaum Muslim, selain itu juga digunakan untuk memalingkan Islam dari umatnya.

Menurut syariah, syuro adalah mengambil pendapat (akhdh ar-ra’yi)(An-Nabhani 1994: 246). Jelasnya, syuro adalah mencari pendapat dari orang yang diajak bermusyawarah (Zallum, 2002: 216). Istilah lain syuro adalah masyuro atau  at-tasyawwur.

Hukum syuro adalah mandub/sunnah, bukan wajib. Hal ini sesuai dengan perintah Allah dalam QS Ali Imran [3]: 159. Pendapat itu sejalan dengan para ahli tafsir seperti Ibn Jari ath-Thabari (Jami’ Al-Bayan, IV/153), Al-Alusi (Ruh al-Ma’ani, IV/106-107), Az-Zamakhsyari (Al-Kasysyaf, I/474), Imam Al-Qurtubhi (Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, I/298). Syuro adalah hak kaum Muslim semata. Pihak pemegang kewenangan seperti Khalifah, ketika hendak meminta atau mengambil pendapat ia hanya mengambilnya dari kaum Muslim. Tegasnya, syuro adalah proses pengambilan pendapat yang khusus dikalangan internal sesama orang Islam. Tidak boleh dalam syuro mengambil pendapat dari orang kafir, meskipun boleh orang kafir menyampaikan pendapat kepada orang Islam dan boleh kaum Muslim mendengarkan pendapat dari orang kafir tersebut (An-Nabhani, 2001: III). Kekhususan ini sebagaimana dalam QS Ali Imran [3]: 159.

Memang dalam demokrasi suara mayoritaslah yang menjadi penentu dalam setiap bidang permasalahan. Adapun dalam syuro kriteria pendapat yang diambil bergantung pada permasalahan yang dimusyawarahkan. Rinciannya ada tiga:

Pertama: dalam penentuan hukum syariah (at-tasyri’). Kriterianya tidak bergantung pada pendapat mayoritas atau minoritas melainkan pada nash al-Quran dan as-Sunnah. Sebab yang menjadi Pembuat hukum (Musyarri’) hanyala Allah SWT. bukan umat atau rakyat. Sebagai contoh, tidak perlu meminta pendapat kepada umat apakah khamr haram atau tidak (di Indonesia kadar alkohol kurang atau samadengan 5% dibolehkan/dihalalkan dan dijual bebas) walaupun disitu ada kemanfaatan dan pendapatan sebagaimana dalam sistem kapitalis-sekular. Jelas, Islam mengharamkannya.

Kedua: dalam masalah yang berhubungan dengan aspek-aspek profesi dan ide yang membutuhkan keahlian, pemikiran dan pertimbangan yang mendalam. Dalam hal ini, yang dijadikan kriteria adalah ketepatan dan kebenarannya, bukan berdasarkan suara mayoritas atau minoritas. Jadi, masalah yang ada harus dikembalikan pada para ahli yang berkompeten. Merekalah yang memahami permasalahan yang ada secara tepat. Masalah kemiliteran, misalnya, dikembalikan pada pakar militer. Masalah fiqh dikembalikan kepada para fuqaha dan mujtahid. Dalil untuk ketentuan ini adalah perstiwa ketika Rasulullah ﷺ mengikuti pendapat Hubab bin Al-Mundzir pada Perang Badar—yang saat itu merupakan pakar dalam hal tempat-tempat strategis—yang mengusulkan kepada Nabi ﷺ agar meninggalkan tempat yang dipilih beliau sekiranya tempat itu bukan dari wahyu (Sirah Ibnu Hisyam, II/272).

Ketiga: masalah yang langsung menuju pada amal/tindakan (bersifat praktis), yang tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan mendalam. Dalam hal ini, yang menjadi patokan adalah suara mayoritas, karena mayoritas orang dapat memahaminya dan dapat memberikan pendapatnya dengan mudah menurut pertimbangan kemaslahatan yang ada. Sebagai contoh, apakah kita akan memilih si A atau si B sebagai ketua organisasi, apakah kita akan pergi ke luar kota atau tidak. Masalah seperti ini dapat dijangkau oleh setiap orang. Mereka dapat memberikan pendapatnya. Dalil untuk ketentuan ini ketika ada dua pendapat dari para Sahabat dalam perang Uhud. Nabi ﷺ mengikuti pendapat Sahabat muda yang menyarankan untuk keluar dari Kota Madinah dan mengabaikan pendapat Sahabat senior yang meminta tetap di Kota Madinah.

Jelasnya, bahwa syuro berbeda dengan Demokrasi.

Khatimah

Demokrasi bukanlah jalan bagi umat Islam. Menyamakan demokrasi dengan Islam sama saja menyampurkan yang haq dan yang bathil. Hal ini bertentangan dengan Islam (QS al-Baqarah [2]: 42). Demokrasi merupakan sistem kufur; haram diambil, diterapkan dan dipropagandakan.

Sistem demokrasi harus diganti dengan sistem Islam dalam institusi Khilafah. Inilah jalan sahih bagi umat Islam untuk mendapatkan keadilan dan kesejahteraan.

Wallahu a’lam bi ash-shawwab

“Di antara bencana paling mengerikan yang menimpa seluruh umat manusia, ialah ide kebebasan individu yang dibawa oleh demokrasi. Ide ini telah mengakibatkan berbagai malapetaka secara universal, serta memerosotkan harkat dan martabat masyarakat di negeri-negeri demokrasi sampai ke derajat yang lebih hina daripada derajat segerombolan binatang!” (Al-‘Allamah as-Syaikh Abdul Qadim Zallum).

Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani kuno. Istilah ini dicetuskan di Athena pada abad ke-5 SM. Demos berarti rakyat, Cratos (Kratien, Kratia) artinya kekuasaan (berkuasa, pemerintahan). Dengan demikian demokrasi bisa diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Asas demokrasi modern adalah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Sekularisme lahir pada abad pertengahan Masehi.

Demokrasi memang lahir lebih awal, yaitu pada abad ke-5 SM. Adapun sekularisme lahir sesudah abad ke-14 M. Namun, demokrasi itu ternya sudah tidak diterapkan lagi, karena tidak bertahan lama setelah kelahirannya. Ini dibuktikan bahwa setelah negara kota Athena, tidak ditemukan lagi satu negara pun yang menerapkan sistem ini. Sebagai gantinya, muncullah pemerintahan monarki yang berkolaborasi dengan Gereja, yang disebut dengan teokrasi atau yang juga disebut dengan negara agama.

Sampai pada abad pertengahan terjadi pergolakan tentang konsep teokrasi ini. Ada dua kubu yang saling berseberangan. Di satu sisi ada para rohaniwan Kristen yang diperalat oleh para raja dan kaisar. Mereka dijadikan perisai untuk mengeksploitasi dan mendzalimi rakyat atas nama agama serta menghendaki agar segala urusan tunduk di bawah peraturan agama. Disisi lain, ada para filosof dan pemikir yang mengingkari eksistensi agama serta menolak otoritas para rohaniwan. Ini terjadi karena selama dominasi gereja 300 ribu ilmuwan yang dibunuh, bahkan 32 ribu ilmuwan dibakar hidup-hidup karena tidak sesuai dengan doktrin gereja.

Para roahniwan Kristen membela monarki absolut (kekuasaan raja) dan teokrasi (kekuasaan gereja). Mereka mengopinikan teori “Kedaulatan Tuhan” dan konsep raja sebagai manusia terpilih yang menjadi perpanjangan Tuhan. Dengan Teori ini raja dan gereja yang sudah stabil selama ratusan tahun tidak digugat.

Sebaliknya, para filosof dan pemikir menawarkan konsep sekularisme, yang intinya rakyat tidak perlu terikat pada aturan gereja dalam kehidupan publik. Selanjutnya konsep sekularisme ini mengeluarkan 3 teori: (I) Liberalisme yang menegaskan pola pikir dan pola sikap rakyat hendaknya terserah rakyat sendiri; (II) Kapitalisme yang menyatakan bahwa ekonomi hendaknya tidak didominasi kerajaan. Hendaknya rakyat (termasuk di dalamnya kaum borjuis) terlibat besar dalam ekonomi, sementara pemerintahan hanya sebagai “wasit ekonomi” saja; (III) Demokrasi yang menyerahkan kedaulatan kepada manusia (rakyat). Saat aturan agama ditolak, tentu manusia butuh aturan baru, di sinilah kemudian demokrasi digali kembali dari lubang kuburnya setelah terkubur puluhan abad. Demokrasi menjadi pilihan ideal, karena itu memang sistem yang menyerahkan segala sesuatunya kepada keinginan manusia. Itulah mengapa dikatakan bahwa demokrasi (modern) lahir dari akidah sekularisme. Akidah sekularisme sendiri adalah “jalan tengah” (kompromi) yang bersifat pragmatis, bukan hasil pemikiran yang memuaskan akan dan menentramkan hati.

Ilusi Demokrasi

Sebagian besar manusia sudah terbius oleh ide demokrasi. Mereka seolah dibuai oleh janji-janji manis yang selalu “didakwahkan” oleh para pengusung demokrasi. Mereka mengira, sistem demokrasi akan membawa mereka pada kehidupan yang lebih baik, lebih sejahtera dan lebih modern. Padahal kenyataannya tidaklah demikian.

Demokrasi yang sering diperalat oleh kelompok elit masyarakat (elit wakil rakyat, elit parpol dan elit para pemilik modal) untuk memperkaya diri mereka sendiri sembari melupakan bahkan menindas rakyat.

Hal tersebut wajar, karena dalam demokrasi tidak pernah ada yang namanya rakyat sebagai penentu keinginan. Sejarah AS menunjukkan hal tersebut. Presiden Abraham Lincoln (1860-1865) mengatakan bahwa demokrasi adalah “from the people, by the people and for the people” (dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat). Namun, hanya sebelas tahun kemudian setelah Lincoln meninggal dunia, Presiden AS Rutherford B. Hayes, pada tahun 1876 mengatakan bahwa kondisi di Amerika Serikat pada tahun itu adalah “from company, by company and for company” (dari perusahaan, oleh perusahaan dan untuk perusahaan).

Sejak awal kelahirannya, kedaulatan dalam demokrasi ada di tangan segelintir rakyat, yakni para pemilik modal. Hanya saja mereka menipu rakyat dengan menggembar gemborkan seolah kedaulatan ada di tangan rakyat. Jadi, bila perubahan yang dikehendaki adalah daulat rakyat maka demokrasi tidak memberikan hal itu. Yang berdaulat dan berkuasa dalam demokrasi adalah para pemilik modal.

Sebagian kaum Muslim berkata bahwa itu adalah konsep demokrasi Barat. Di dalam Islam, kata mereka kedaulatan berada di tangan rakyat (suara mayoritas), bukan di tangan pemilik modal. Ini jelas pernyataan yang keliru dan menyesatkan. Pasalnya, jika dikatakan kedaulatan berada di tangan rakyat melalui wakil-wakilnya di sistem demokrasi, maka demokrasi telah merampas hak Allah SWT untuk membuat hukum dan menyerahkannya pada hawa nafsu manusia. Padahal Allah-lah Pembuat hukum (Qsal-An’am [6]: 57).

Bahkan jika seseorang secara sadar dan terang-terangan menolak satu saja hukum syariah Islam, menolak dalam arti mengingkari kewajiban akan berhukum dengan hukum Allah tersebut , maka ia bisa termasuk kategori orang yang kafir (Lihat: QS al-Maidah [5]: 44).

Al-Imam al-‘Allamah as-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Nizham al-Hukm fi al-Islam, “Sungguh Allah SWT telah memerintahkan sultan dan penguasa untuk berhukum dengan apa yang Allah SWT turunkan kepada RasulNYA; menjadikan orang yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan sebagai orang kafir jika dia menyakininya atau meyakini tidak layaknya apa yang Allah turunkan; dan menjadikannya sebagai orang yang maksiat, fasik dan dzalim jika berhukum dengan (selain apa yang Allah turunkan) dan tidak meyakininya.”

Demokrasi memang memberikan tempat bagi kelompok orang yang menyuarakan syariah Islam, namun tidak menyediakan tempat agar syariah Islam tersebut dapat diterapkan. Hal ini karena demokrasi telah menetapkan dengan tegas bahwa agama tidak boleh terlibat dalam mengatur maslah pubik.

Kebebasan dalam Demokrasi

Demokrasi tidak bisa dielepaskan dari ide liberalism (kebebasan). Kebebasan merupakan prasyarat agar rakyat dapat melaksanakan kedudukannya sebagai sumber kedaulatan dan sumber kekuasaan.

Ide ini telah membawa bencana paling mengerikan yang menimpa seluruh umat manusia. Ide ini telah mengakibatkan berbagai malapetaka global serta memerosotkan harkat dan martabat masyarakat di negara-negara penganut demokrasi sampai ke derajat yang lebih hina daripada derajat segerombolan binatang.

Kerusakan yang ditimbulkan oleh kebebasan ide demokrasi bisa kita urai sebagai berikut:

  1. Kebebasan Beragama (freedom of religion)

Dalam demokrasi seseorang bebas untuk beragama ataupun tidak beragama (ateis). Mereka juga bebas untuk berpindah-pindah agama (baca: murtad); agama seolah menjadi sesuatu yang tidak prinsip sehingga seolah menjadi permainan.

Ini terjadi karena dalam demokrasi semua agama itu sama sehingga manusia tidak boleh dibeda-bedakan atas dasar agamanya. Dengan pandangan yang rusak ini, perilaku yang menyimpang bagi sebagian kaum Muslim—misalnya Muslimah tidak masalah menikah dengan laki-laki kafir—di toleransi dengan alasan toh semua agama itu sama.

Kebebasan ini juga menyebabkan berkembangnya ajaran/aliran sesat. Bahkan sampai tahun 2007, jumlahnya telah mencapai 250 aliran.

 

  1. Kebebasan Berpendapat (freedom of speech)

Dalam demokrasi, setiap individu berhak mengembangkan pendapat atau ide apapun dan bagaimanapun bentuknya tanpa tolok ukur halal-haram. Tidak aneh, dalam demokrasi, kita mendapati banyak pendapat yang dipakai untuk “menghujat” Islam; seperti bahwa Islam adalah ajaran Muhammad (Mohammadanisme), bukan syariah Allah; al-Quran adalah produk budaya, tidak sakral; Islam membolehkan perkawinan sejenis; jilbab itu budaya Arab; kewajiban memakai jilbab hanya pada saat shalat saja; dan lain-lain. Inilah pandangan-pandangan liberal. Jelas ini bertentangan dengan Islam.

Di Belanda, tahun 2004, Theo van Gogh membuat film yang melecehkan Islam. Masih di Belanda, Geert Wilders, anggota Parlemen Belanda dari partai Kebebasan, juga menghina Islam melalui berbagai pernyataan, tulisan dan film yang dia buat.

Kita tentu juga masih ingat ketika surat kabar Jyland Posten memuat kartun Nabi ﷺ diterbitkan pada 30 September tahun 2007, muncul kartunis lain dari Negara Swedia, yakni Lars Vilks, menggambar Nabi Muhammad ﷺ sebagai satwa haram. Kemudian setelah itu muncul film The Innocence of Muslims, sebuah video dibuat oleh Sam Bacile.

Di Amerika Serikat, dua tahun lalu, dalam rangka peringatan Tragedi WTC 9/11, sekte kecil agama Kristen di Florida, pimpinan Pastor Terry Jones dari Gereja World Outreach Center, membakar al-Quran. Pada Oktober lalu film kartun South Park juga menampilkan Nabi ﷺ dalam salah satu episodenya.

Ironinya, semua serangan terhadap Islam dan kaum Muslim di Barat terjadi dengan alasan demokrasi dan kebebasan. Contoh, editor Charlie Hebdo, Stephane Charbonnier mengatakan, “Kami pikir mungkin akan ada rasa hormat yang lebih untuk pekerjaan satir kami, hak kami untuk mengejek. Kebebasan untuk memiliki tawa yang baik adalah sama pentingnya dengan kebebasan berbicara.”

Semua itu menampakkan dengan jelas kepada kita bahwa demokrasi selalu menerapkan standar ganda, khususnya untuk Islam dan kaum Muslim. Dengan dalih kebebasan, Barat beramai-ramai melecehkan ajaran Islam dan menghina Rasulullah ﷺ. Disisi lain mereka melarang tulisan atau propaganda yang menyerang Yahudi dan Israel dengan dalih anti-Semit. Jika terkait Islam dan kaum Muslim, maka demokrasi dan kebebasan berpendapat bahkan kebebasan beragama tiba-tiba saja menjadi tidak ada.

 

  1. Kebebasan Kepemilikan (freedom of ownership)

Kebebasan ini memberikan hak kepada siapapun untuk memiliki harta (modal) sekaligus mengembangkannya dengan sarana dan cara apapun. Di Indonesia, pihak asing bahkan diberikan kebasan untuk menguasai sumberdaya alam milik rakyat. “Sudah lama kita tak pernah jaya dengan hasil alam sendiri. Padahal kita kaya sumber daya alam (SDA). Sedikitnya 69 persen SDA kita dikuasai oleh asing selama puluhan tahun. SDA itu seluruhnya berakhir dalam surat-surat kontrak (konsensus) dengan pihak asing. Itu sebabnya, kita tetap miskin.” Demikian dikatakan Aktivis HAM Usman Hamid, ketika diwawancarai di USU, Sabtu (12/1/13).

Tambang batubara dan minyak di Kalimantan, tambang emas di Papua, serta perkebunan di Sumatera mestinya sanggup memperkaya bangsa kita. Nyatanya, semua hasilnya justru dibawa kabur ke luar negeri, dinikmati oleh kaum kapitalis.

Ide kebebasan kepemilikan yang dijadikan sebagai tolok ukur perbuatan mengakibatkan lahirnya para kapitalis yang membutuhkan bahan-bahan mentah untuk menjalankan industrinya dan membutuhkan pasar-pasar konsumtif untuk memasarkan produk-produk industrinya. Hal inilah yang telah mendorong negara-negara kapitalis untuk bersaing satu sama lain guna menjajah bangsa-bangsa yang terbelakang, menguasai harta benda mereka, memonopoli kekayaan alam mereka, sekaligus menghisap darah mereka dengan cara yang sangat bertolak belakang dengan seluruh nilai-nilai agama, akhlak dan kemanusiaan.

Hal ini bisa kita lihat dari salah satu alasan mengapa Prancis menyerang negara Mali di Afrika adalah karena faktor ekonomi, yakni kekayaan negara Mali. Mali adalah negeri yang kaya bahan tambang berupa emas, phospat, kaolin, bauksit, besi, uranium dan banyak lainnya. Tidak mengherankan kalau Eropa khususnya Prancis dan Amerika saling berebut kekayaan alam Mali.

 

  1. Kebebasan Bertingkah Laku (personal freedom)

Kebebasan berperilaku juga telah menjadikan perempuan sebagai ajang eksploitasi Kapitalisme melalui perhelatan Miss Universe, Miss World dan sejenisnya. Perempuan hanya dianggap sebagai komoditas dagang dan pemuas nafsu laki-laki semata. Kebebasan semacam ini sama artinya dengan melegitimasi kemaksiatan. Pacaran, misalnya, merupakan kebebasan berperilaku yang harus dilindungi.

Kebebasan ini juga melahirkan perilaku seks yang menyimpang. Kita bisa melihat bagaimana sekarang manusia sudah tidak malu lagi memperkenalkan dirinya di hadapan umum sebagai pasangan homo/lesbi dan juga waria yang merupakan perilaku lebih rendah dari binatang.

Bahkan Inggris menjadi negara ke 11 yang menyetujui pernikahan sejenis. Parlemen Inggris telah menyetujui pernikahan sejenis; 400 orang anggota parlemen mendukung dan 175 menolak. Sepuluh negara lain adalah Belanda (2001), Belgia (2003), Spanyol (2005), Kanada (2005), Afrika Selatan (2006), Norwegia, Swedia (2009), Portugal (2010), Islandia (2010) Argentina (2010) (Huffingtonpost.com).

Kebebasan berperilaku juga menyuburkan kejahatan tindakan asusila. Harian The Guardian (10/1/13) menambahkan potret rusak negara kampiun demokrasi Inggris. Berdasarkan sebuah studi dilaporkan hampir satu dari lima wanita di Inggris dan Wales menjadi korban serangan seksual sejak berusia 16 tahun. Studi ini juga menunjukkan ada sekitar 473 ribu orang dewasa yang menjadi korban kejahatan seksual setiap tahun, termasuk di dalamnya ada 60 ribu sampai 95 ribu korban pemerkosaan.

Demokrasi, Cacat Sejak Lahir

Segala kerusakan yang dibawa oleh sistem demokrasi itu sebenarnya tidak lepas dari sejarah kemunculannya yang memang sudah cacat sejak lahir. Akidah sekularisme yang melahirkan demokrasi merupakan akidah hasil jalan tengah atau kompromi.

Karena itu, sudah saatnya umat Islam mulai sekarang segera mencampakkannya. Kaum Muslim harus kembali pada sistem Islam, kembali pada syariah, kembali dalam naungan Khilafah Islamiyah; sebagaimana selama berabad-abad pernah dialami oleh generasi kaum Muslim terdahulu. Hanya dengan itulah, kemuliaan kaum Muslim di dunia maupu di akhirat bisa diraih.

Wallahu a’lam biash-shawab.
Adi Victoria