Tag Archive: Tadarruj


Tadarruj #2

Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumanNYA.

(QS al-Hasyir [59]: 7).

Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.  (QS al-Maidah [5]: 44).

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang dzalim. (QS al-Maidah [5]: 45).

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang fasik. (QS al-Maidah [5]: 47).

Apakah kamu beriman kepada sebagian dari Kitab (Allah) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan dari orang yang berbuat demikian dari padamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang amat berat.
(QS al-Baqarah [2]: 85).

 

Pembenaran Pihak yang Membolehkan Tadarruj atau Adanya Masa Transisi dan Jawaban-jawaban Atasnya

Para pendukung ide ini menggunakan pembenaran yang memperkuat pemahaman mereka dalam pemikiran dan dakwah Islam. Dalam rangka mencapai tujuan yang ingin dicapainya mereka telah mempergunakan alasan-alasan itu sebagai dalil terhadap apa yang mereka inginkan. Mereka tidak tunduk kepada nash dan dalalahnya. Mereka malah mempergunakan nash agar sesuai dengan keinginan mereka, seperti yang akan kita lihat nanti. Diantara pembenaran tersebut antara lain:

Pertama: Pendapat mereka yang menyebutkan bahwa Allah tidak mengharamkan riba secara sekaligus. Pengharaman riba itu diturunkan secara bertahap dan berangsur-angsur. Allah SWT berfirman:

Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya). (QS ar-Rum [30]: 39).

Kemudian Allah SWT berfirman:

Janganlah memakan riba dengan berlipatganda (QS Ali Imran [3]: 130).

Setelah itu Allah SWT berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut). (QS al-Baqarah [2]: 278).

Berikutnya adalah firman Allah SWT:

Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang dari padanya. (QS an-Nisa [4]: 161).

Kemudian barulah firman Allah SWT:

Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS al-Baqarah [2]: 275).

Berdasarkan keseluruhan ayat-ayat tersebut diatas, para pendukung tadarruj memahami, bahwa riba pada mulanya adalah mubah berdasarkan ayat pertama. Setelah itu turun ayat yang mengharamkan memakan riba yang berlipat ganda tetapi tidak mengharamkan riba yang (nilainya) sedikit, berdasarkan ayat yang kedua. Kemudian diakhiri oleh ayat yang ketiga yang mengharamkan riba meskipun sedikit, berdasarkan firman Allah SWT:

….dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut). (QS al-Baqarah [2]: 278).

Dari sini mereka mengatakan bahwa pengharaman riba dimulai dengan sindiran, tidak secara terang-terangan. Alasannya adalah ayat yang keempat yang menggambarkan kisah tentang orang-orang Yahudi. Pada akhirnya Allah mengharamkan riba setelah melalui rangkaian ini dan setelah melalui tahapan-tahapan tersebut, dengan firmanNYA:

Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS al-Baqarah [2]: 275).

Orang yang memperhatikan aspek fikih ayat-ayat ini dengan pandangan yang benar, yang sesuai dengan syara, maka pasti akan menemukan bahwa pendapat yang mengatakan tentang bolehnya tadarruj adalah sangat jauh dari kebenaran.

Ayat yang pertama tidak ada kaitannya sama sekali dengan riba yang diharamkan. Ayat tersebut membahas tentang hibah dan hadiah. Makna ayat tersebut adalah, barangsiapa yang telah memberi hadiah karena ingin memperoleh balasan yang berlipat dari manusia maka (dengan riba) dia tidak akan mendapatkan tambahan (nilai) disisi Allah. Dengan kata lain tidak mendapat pahala atas hadiah dan hibah yang diberikannya itu disisi Allah. Sedangkan mengenai shadaqoh, Rasulullah ﷺ bersabda:

Barangsiapa yang bershadaqah dengan sesuatu senilai satu biji kurma dari hasil usaha yang baik (halal), dan Allah tidak menerima kecuali yang baik-baik saja. Maka Allah menerima shadaqah itu dengan tangan kananNYA dan memeliharanya seperti halnya jika seseorang diantara kalian memelihara seekor anak kuda hingga membesar seperti sebuah gunung. (HR Bukhari).

Ibnu Abbas menafsirkan ayat, wa ma ataitum min ar-riba, bahwa yang dimaksud oleh ayat ini adalah seseorang yang memberi hadiah karena menghendaki balasan yang lebih banyak  dari apa yang diberikannya, maka hal itu tidak akan bertambah disisi Allah dan tidak akan diberi pahala orang yang memberikan hadiah dengan maksud demikian, meskipun dia tidak berdosa. Untuk makna seperti inilah ayat itu turun (dikutip oleh al-Qurthubi). Ibnu Katsir—rahimullah—berkata mengenai ayat ini:
“Sesungguhnya orang yang memberikan sesuatu karena ingin memperoleh balasan manusia lebih banyak dari apa yang dihadiahkannya, maka orang yang seperti ini tidak mendapatkan pahala di sisi Allah.” Demikian pula penafsiran Ibnu Abbas, Mujahid, adh-Dhahhak, Watadah, Ikrimah, Muhammad bin Ka’ab dan asy-Sya’biy. Dan perbuatan tersebut hukumnya boleh.

Ibnu Abbas berkata: “Riba itu ada dua macam, (yaitu) riba la yashihu (riba yang tidak boleh) yaitu didalam jual-beli, dan riba la ba’sa bihi (riba yang tidak apa-apa) yaitu hadiah seseorang yang ingin memperoleh balasan yang lebih banyak.

Adapun ayat yang kedua:

Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda (QS Ali Imran [3]: 130).

Ayat ini diturunkan untuk melarang makan riba yang berlipat ganda, yaitu riba yang ada pada masa jahiliyah. Di dalam ayat ini tidak dijumpai perkara yang mengikat (men-taqyid) haramnya riba.

Para ahli tafsir telah menyebutkan bahwa surat al-Baqarah yang didalamnnya terdapat ayat pengharaman riba merupakan ayat pertama yang turun di Madinah, sedangkan surat Ali Imran yang didalamnya terdapat ayat yang mengharamkan memakan riba yang berlipat ganda diturunkan sesudah ayat pengharaman riba di surat al-Baqarah. Berdasarkan kenyataan ini, anggapan bahwa Allah telah membolehkan memakan riba yang sedikit, tertolak. Dengan demikian ayat tentang riba yang terdapat pada surat Ali Imran bukan untuk menjelaskan tadarruj melainkan menjelaskan tentang kebiasaan orang kafir yang telah membudaya dengan perkara riba. Jadi, berdasarkan penjelasan tersebut pengharaman riba telah datang sejak awal.

Adapun ayat ketiga:

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) (QS al-Baqarah [2]: 278).

Ayat ini tidak bisa diartikan bahwa Allah telah membolehkan bagi kaum Muslim riba yang sedikit, kemudian riba dilarang atas mereka seluruhnya. Ayat ini diturunkan bagi kaum yang telah beriman dan mereka memiliki harta (tetapi) mengandung riba yang berada ditangan orang lain. Sebelumnya mereka telah mengambil sebagian riba dan belum mengambil sisanya. Maka Allah memaafkan mereka atas riba yang telah mereka ambil dan melarangnya dari mengambil sisa riba.

Hal ini diperkuat oleh firman Allah SWT:

Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS al-Baqarah [2]: 279).

Begitu juga diperkuat oleh hadis Rasulullah ﷺ:

Ketahuilah bahwa riba jahiliyah… (dihapuskan) semuanya, dan riba yang pertama kali (dihapuskan) adalah ribanya Abbas bin Abdul Muthalib. (Sirah Ibnu Hisyam).

Sedangkan ayat keempat:

Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang dari padanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. (QS an-Nisa [4]: 161).

Riba yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah harta haram dari risywah (uang sogok) dan lain-lainnya yang dahulu dimakan oleh orang-orang Yahudi, seperti yang disinyalir oleh ayat Allah:

Banyak memakan yang haram. (QS al-Maidah [5]: 42).

Maknanya adalah bukan riba yang dimaksudkan oleh syara.

Berdasarkan pembahasan di atas jelas bahwa riba telah diharamkan sejak pertama kali ayat riba diturunkan. Tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa riba telah diharamkan secara bertahap. Berbilangnya nash-nash yang termaktub dalam kasus ini dimaksudkan untuk kejadian-kejadian tertentu. Dan tidak terdapat satu perkara pun yang menunjukkan bahwa riba telah diharamkan secara berangsur-angsur.

 

Kedua: Pendapat mereka yang menyebutkan bahwa Allah telah mengharamkan khamr secara bertahap. Allah SWT berfirman:

Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya. (QS al-Baqarah [2]: 219).

Firman Allah lainnya:

Janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan. (QS an-Nisa [4]: 43).

Kemudian firman Allah SWT:

Hai orang-orang yang beriman, sesunguhnya (meminum) khamr (arak), berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran (meminum) khamr (arak) dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). (QS al-Maidah [5]: 90-91).

Dari keseluruhan ayat diatas, pihak yang membolehkan tadarruj memahami bahwa khamr pada mulanya hukumnya mubah berdasarkan dalil ayat yang pertama. Kemudian turun ayat yang mempersempit kemubahan itu dengan firmanNYA:

Janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk.  (QS an-Nisa [4]: 43).

Lalu, pada akhirnya khamr diharamkan setelah penyempitan tersebut.

Apabila ayat-ayat tadi diperhatikan dengan pandangan yang syar’i, maka tidak akan ditemukan tahapan apapun didalam pengharaman khamr. Karena tidak ada hukum atas khamr sebelum turunnya ayat yang mengharamkannya. Artinya, sebelumnya khamr itu dibiarkan, dengan kata lain khamr sebelumnya maskut ‘anhu (didiamkan) meskipun mereka melakukannya,  sampai turunnya ayat yang ketiga. Yang memperkuat hal itu adalah peristiwa yang terjadi pada sayidina Umar bin Khattab ra, dimana dia telah berkata:

Wahai Allah, jelaskanlah bagi kami hukum khamr dengan penjelasan yang memuaskan, karena khamr itu menghabiskan harta dan menghilangkan akal.

Lalu turunlah ayat:

Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. (QS al-Baqarah [2]: 219).

Umar lalu dipanggil, dan ayat tersebut dibacakan kepadanya. Kemudian ia berkata, “Wahai Allah, jelaskanlah bagi kami hukum khamr dengan penjelasan yang memuaskan.

Setelah itu turunlah ayat:

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk. . (QS an-Nisa [4]: 43).

Umar lalu dipanggil, dan ayat tersebut dibacakan kepdanya. Umar pun berdoa kembali, “Wahai Allah, jelaskanlah bagi kami hukum khamr dengan penjelasan yang memuaskan.” Kemudian turunlah ayat:

Hai orang-orang yang beriman, sesunguhnya (meminum) khamr (arak), berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah (QS al-Maidah [5]: 90-91).

Umar pun dipanggil dan ayat tersebut dibacakan kepadanya hingga ketika sampai bacaan:

maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). (QS al-Maidah [5]: 91).

Umar berkata: “Kami berhenti wahai Rabb, kami berhenti wahai Rabb.” (HR Ahmad, Turmudzi, Nasa’i dan Abu Dawud).

Sayidina Umar terus memohon kepada Allah agar menjelaskan tentang hukum khamr dengan penjelasan yang memuaskan, yang sebelumnya didiamkan kebolehannya sebelum turunnya ayat yang pertama. Beliau terus memohon meskipun telah diturunkan dua ayat yang pertama dan yang kedua. Hal itu menunjukkan bahwa khamr tetap dalam kebolehannya hingga turunnya ayat pengharaman khamr pada ayat yang ketiga.

Larangan yang terdapat didalam ayat yang kedua difokuskan kepada shalat dalam keadaan mabuk, bukan ditujukan kepada (haramnya) khamr. Ayat ini berhubungan dengan shalat. Jika kita perhatikan secara lebih seksama terhadap fikih ayat ini, maka ayat tersebut tidak melarang kaum Muslim (pada waktu itu) meminum khamr selain waktu shalat. Yang dilarang atas kaum Muslim adalah shalat dalam keadaan mabuk, sehingga mereka mengetahui apa yang mereka ucapkan (baca).

Allah telah mencela khamr pada ayat yang pertama karena merugikan. Kemudian melarang shalat dalam keadaan mabuk pada ayat yang kedua. Setelah itu mengharamkan khamr pada ayat yang ketiga. Hal semacam ini tidak bisa dikatakan adanya tahapan di dalam pengharaman khamr, karena tidak seorangpun menganggap khamr itu mubah (boleh) setelah turunnya ayat pengharaman khamr (Surat al-Maidah), baik pada masa Rasulullah ﷺ maupun pada masa Sahabat, atau pada masa Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in. Tidak ada satu pun kitab-kitab fikih yang dikarang oleh ulama-ulama besar dan para mujtahid umat ini yang membahas masalah tadarruj dalam kasus pengharaman khamr.

Dahulu kala, futuhat Islam dilakukan hanya dengan berjalan kaki. Saat itu banyak negeri-negeri dibuka. Pada waktu itu manusia berbondong-bondong masuk ke dalam agama Allah. Kaum Muslim yang membuka negeri itu tidak mempedulikan masih barunya ke-Islaman saudara-saudara mereka, dan tidak membiarkan mereka minum khamr melalui tahapan sebagaimana “tahapan” yang telah dilewati dalam pengharaman khamr. Padahal (kondisi saat itu menuntut) mereka dan sangat dibutuhkan seandainya hal itu bisa dijadikan sebagai patokan. Wajar saja, karena para ulama kita terdahulu tidak pernah membahas masalah tadarruj. Topik ini merupakan pembahasan baru yang didiktekan oleh keadaan yang sulit dan kerasnya situasi—menurut pendapat sebagian orang yang dinamakan sebagai ulama—dan mereka ingin menjadikannya sebagai metoda berpikir yang tidak hanya mencakup sebagian hukum saja tetapi juga melampaui agama seluruhnya. Kiranya benarlah sabda Rasullah ﷺ:

Sesungguhnya barangsiapa diantara kalian yang menjumpai perbedaan yang banyak, maka berhati-hatilah kalian dari segala perkara yang menambah-nambah sesuatu yang baru (dalam masalah agama), karena yang demikian itu adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah (tempatnya) di dalam neraka. (HR Turmudzi dan Abu Dawud).

Dengan sendirinya muncul pertanyaan kepada para penganjur tadarruj; Apakah boleh bagi kita mengambil hukum sebelum Islam dengan alasan tadarruj dalam penerapan hukum?

Dengan tegas jawabannya adalah , tidak. Alasannya, hukum pengharaman khamr adalah qoth’i, yang secara syar’i tidak boleh kembali kepada hukum sebelumnya. Jika kita melaksanakan hukum sebelumnya, berarti kita telah melaksanakan apa yang tidak diperintahkan Allah SWT kepada kita. Inilah (pendapat) yang dianut oleh orang-orang terdahulu dan kemudian. Dengan demikian, terhadap khamr sekarang ini hanya ada satu hukum, tidak berubah dalam kondisi apapun.

Ketiga: Pendapat mereka bahwa al-Quran telah diturunkan secara berangsur-angsur dan sedikit demi sedikit, dan tidak turun secara sekaligus. Hal itu—menurut mereka—menunjukkan adanya tadarruj. Jawaban terhadap pernyataan ini adalah bahwa Allah ‘Azza wa Jalla ketika itu menurunkan hukum-hukum berdasarkan peristiwa-peristiwa yang terjadi untuk memperkuat hati. Yang pertama kali turun adalah masalah iman, kemudian tentang surga dan neraka. Setelah itu halal dan haram. Hal ini bukan berarti mengambil sebagian Islam dan meninggalkan sebagian yang lain. Saat itu kaum Muslim bertanggung jawab sebatas (ayat-ayat) al-Quran yang diturunkan, tidak lebih dari itu. Ketika ayat-ayat tentang keimanan turun, sedangkan ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum belum turun, maka kaum Muslim—saat itu—bertanggung jawab terhadap Islam seluruhnya, akan tetapi sampai pada batas-batas yang telah dijelaskan nash-nash syara. Kaum Muslim bertanggung jawab terhadap hukum-hukum yang berkaitan dengan individu Muslim dalam setiap keadaan, baik daulah Islam telah berdiri atau pun belum ada. Sedangkan hukum-hukum Islam yang disandarkan pembebanannya kepada negara maka tetap berkaitan dengan negara. Inilah perincian yang mengikat kaum Muslim, bukan yang lainnya. Tidak ada yang namanya menengok ke belakang.

 

Sekarang, setelah pemaparan di atas, apa yang dimaksud dengan tadarruj; apa saja yang dicakupnya; serta apa saja alasan orang yang membolehkannya. Kita akan melanjutkan dengan penjelasan mengenai pendapat yang benar menurut syara, dan dibahas dengan metode yang sesuai dengan syara di dalam berpikir.

Kita harus ungkapkan pendapat yang benar, bukan pendapat yang mendekati kebenaran. Ide tentang tadarruj bukan berasal dari syara dan tidak boleh menisbahkannya kepada syara. Permasalahan ini tidak ada kaitannya dengan tadarruj, (tidak tercakup) apakah ia tergolong hukum syara atau bukan, dan terkait dengan metode berpikir yang tidak sesuai dengan syara dalam kondisi apapun.

Islam memiliki sifat-sifat pokok yang berbeda dengan agama lainnya. Dan tabi’at sistem Islam itu adalah tegak dengan mengikuti wahyu semata. Lagi pula sifat sistem wadh’i (konteks pelaksanaan) adalah hasil temuan dan keahlian manusia yang bagaimanapun kuatnya tetap tidak akan mampu untuk menetapkan penyelesaian-penyelesaian yang benar bagi problematika yang dihadapi manusia.

Tatkala seorang Muslim terikat dengan hukum syara maka dia harus menjadikan keterikatannya itu berdasarkan keimanan kepada Allah SWT. Jika tidak demikian maka konsistensinya itu tidak akan diterima. Demikian juga ketika dia mengajak orang lain kepada Islam maka dia wajib menjadikan iman kepada Allah SWT sebagai asas dakwahnya. Jika tidak maka dakwahnya tidak akan diterima. Topik yang pertama adalah berkaitan dengan keimanan dan yang kedua berhubungan dengan keterikatan yang benar.

Agar seorang Muslim berubah dan sistem juga berubah dengan perubahan yang benar dan lurus,  maka wajib memperhatikan asas ruhiyahnya, yaitu dengan mewujudkannya kemudian memupuknya. Adapun perkara lain yang menjadi implikasinya yang berkaitan dengan keterikatan terhadap hukum syara akan menjadi mudah, tanpa perlu mempedulikan apakah sejalan dengan realita yang ada, tabi’at manusia atau hawa nafsu manusia, atau tidak sejalan. Apabila seorang Muslim tidak bersandar pada asas ruhiyah ketika melaksanakan syariat, maka itu dapat menjerumuskannya kepada dosa, bahkan bisa menggelincirkannya kepada kekafiran. Pelaksanaan Islam yang mengacu kepada asas ruhiyah atau iman kepada Allah, tidak akan menjadikan hukum itu jauh atau dekat, kecuali sejauh jarak hukum itu dengan asas ruhiyah tadi.

Sekarang jika ditanyakan kepada orang-orang yang membolehkan tadarruj: Mana asas ruhiyah dari ajakan kepada tadarruj ini? Mana perintah Allah yang menyuruh tadarruj? Dan kemana Rasulullah ﷺ berlindung ketika beliau kondisinya sangat membutuhkan, baik ketika di Mekkah maupun di Madinah?

Bukankah Rasulullah ﷺ telah berkata kepada Bani ‘Amir bin Sha’sha’ah ketika beliau meminta nushrah (kekuasaan/pertolongan) kepada mereka:

Perkara itu ditangan Allah, DIA lah Yang menetapkan sekehendakNYA. (Sirah Ibnu Hisyam).

Ini diucapkan beliau tatkala Bani ‘Amir bin Sha’sha’ah meminta (syarat) kepada Rasulullah ﷺ (ketika mau menolong) agar kendali kekuasaan diberikan kepada mereka setelah wafatnya Rasulullah ﷺ. Hal itu terjadi saat beliau ﷺ sangat membutuhkan adanya orang (pihak) yang dapat menolong dakwah. Bukankah Rasulullah ﷺ bisa saja memenuhi permintaan mereka. Lalu setelah mereka masuk Islam mungkin saja tuntutan mereka akan berubah? Atau apa yang dilakukan Rasulullah ﷺ merupakan ajaran yang benar, dan perintah Allah-lah yang menjadikannya benar di dalam perkataannya tanpa mengindahkan lagi bujuk rayu dan tawar menawar (kompromi), agar dapat diketahui dengan jelas orang-orang yang benar dan orang-orang yang salah.

Bukankah Rasulullah ﷺ telah mengatakan kepada paman beliau Abi Thalib. Saat itu datang kepada beliau meminta agar meringankan beban yang ditanggungnya, dan agar Rasulullah ﷺ tidak membebaninya dengan beban yang tidak sanggup menahannya. Bukankah beliau ﷺ mengatakan kepada pamannya itu:

Demi Allah, wahai pamanku, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan perkara ini (dakwah) maka aku tidak akan meninggalkannya sampai Allah akan memenangkanku atau aku binasa karenanya. (Sirah Ibnu Hisyam).

Nash yang berasal dari Rasulullah ﷺ ini menunjukkan bahwa beliau tidak menerima sedikitpun kompromi atau tawar menawar didalam syariat. Beliau dalam hal ini telah memberikan sebaik-baik contoh didalam dakwahnya. Beliau tidak mencari muka, tidak berdamai, tidak mengikuti mereka, tidak menunjukkan kasih sayang dan tidak berbasa-basi kepada para penguasa. Dakwah beliau jelas dan berani, yang bisa melahirkan pemikiran yang benar, yang mematahkan dan menyebabkan kebatilan itu sirna.

Bukankah Allah SWT telah memerintahkan kaum Muslim untuk berhijrah, dari tempat dimana mereka tidak bisa melaksanakan apa yang diwajibkan Allah SWT ke tempat mereka bisa melaksanakannya. Dan Allah mengharamkan mereka tinggal ditempat yang mereka tidak mampu menjalankan apa yang diwajibkan Allah SWT. Firman Allah SWT:

Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini? Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekkah).” Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu? (QS an-Nisa [4]: 97).

Ibnu Katsir telah menyebutkan adanya ijma’ yang mengharamkan bertempat tinggal di wilayah yang tidak bisa mendirikan agama di dalamnya.

Bukankah Rasulullah ﷺ memulai dakwahnya dengan Laa Ilaaha illa Allah Muhammad Rasulullah dan beliau mulai menyampaikan itu kepada kaumnya. Kalimat itu pula ucapannya yang terakhir tanpa ada perubahan sedikitpun. Apakah beliau mendakwahkan sesuatu yang lebih ringan dari (kalimat) itu, kemudian beliau berdakwah menyampaikannya secara bertahap sampai akhirnya menyampaikan hukum Allah yang sebenarnya? Sesungguhnya kalimat itu dakwah awal dan akhir beliau ﷺ.

Bukankah Abu Bakar ra telah memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat. Beliau tidak memberikan tempo (jeda waktu) dan tidak pula berbaik sangka kepada mereka. Tidakkah kita ingat terhadap perkataannya yang terkenal:

Demi Allah, seandainya mereka tidak mau membayar zakat kepadaku, meskipun tali kekang unta, sebagaimana mereka telah membayarnya kepada Rasulullah ﷺ, maka sungguh aku akan memerangi mereka.

Padahal kaum Muslim saat itu sedang menghadapi gerakan pemurtadan dan pembangkangan yang sangat besar?

Apakah kaum Muslim terdahulu telah mengemban dakwah kepada Islam dengan mengambil pemahaman tadarruj? Dan apakah mereka mengambil metoda ini pada saat mereka menerapkan Islam di negeri-negeri yang ditaklukkan, yang wilayahnya berubah dari dar al-kufur menjadi dar al-Islam. Kaum Muslim terdahulu tidak mempedulikan kondisi negeri-negeri yang saat itu baru memeluk Islam. Mereka tidak membiarkan orang-orang yang baru masuk Islam itu meminum khamr sampai jiwa-jiwa mereka terbiasa dengan tidak meminumnya; atau tidak bermuamalah dengan riba; atau tidak melacur dengan wanita. Mereka masuk ke dalam agama Islam secara keseluruhan. Mereka semuanya dilarang mempraktekkan riba, zina atau minum khamr dan seluruh perkara yang diharamkan Allah atas mereka.

Mereka menerapkan hukum-hukum syariat yang telah dibebankan, baik kewajiban yang dibebankan itu terkait dengan individu ataupun jamaah, fardhu ‘ain ataupun fardhu kifayah.

Apakah buku-buku fikih Islam yang ulama telah membahas topik (tadarruj) ini? Dan apakah para fukaha (ahli fikih) maupun mujtahid (pembuat ijtihad) kita terdahulu dan yang terpercaya ada yang meninggung-nyinggung perkara tersebut meskipun sedikit? Sudah sangat masyhur bahwa para fukaha kita telah membahas secara mendetail setiap syariat, baik yang bersifat kulliy ataupun cabang?

Syariat secara umum telah menunjukkan atas wajibnya membalut dakwah dengan kebenaran dan lurusnya jalan. Firman Allah SWT:

Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hambaNYA al-Kitab (al-Quran) dan DIA tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya, sebagai bimbingan yang lurus. (QS al-Kahfi [18]: 1-2).

Allah SWT telah memberitahukan kepada kita bahwa orang-orang kafir ingin membujuk-bujuk kita, berjalan bersama mereka, dan agar kita melepaskan kebenaran serta agar kita menerima perkara-perkara yang dianggap (pada mulanya) sebagai perkara yang enteng dan sepele terhadap kekafiran. Allah berfirman:

Sebagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengmbalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri (QS al-Baqarah [2]: 109).

Kemudian diakhiri dengan hukum-hukum, sebagaimana firman Allah SWT:

Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula padamu).
(QS al-Qalam [68]: 9).

Maka janganlah kamu ikuti orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Alllah).
(QS al-Qalam [68]: 8).

Rabb kita telah memperingatkan kita atas tunduk (lemah) nya kita terhadap orang-orang dzalim. Firman Allah SWT:

Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang dzalim, yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain dari pada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan. (QS Hud [11]: 113).

Dakwah yang benar (dengan mengajak) kepada iman yang benar mampu menjadikan keterikatan seorang Muslim dengan syariatnya secara sempurna, meskipun orang tersebut baru masuk Islam atau baru saja terikat dengan hukum syara. Tidak ada jalan lain bagi kita, sebagai pengemban dakwah, selain dari menanamkan iman kedalam jiwa dan menjaganya hingga memperoleh (panen) buah yang paling baik dengan menjadikan sebaik-baik iltizam dan takwa. Daulah Islam tidak dibangun diatas orang-orang yang kosong dari pemikiran Islam, atau yang disesaki dengan pemikiran Barat, juga tidak didirikan di atas orang-orang  yang tidak terpengaruh oleh dakwah maupun orang-orang yang terpaksa menerima dakwah. Daulah Islam, seperti yang telah disampaikan, wajib dibangun di atas opini umum yang terpancar dari kesadaran umum (umat), yang menerima pemikiran Islam dan menerima ide untuk bertahkim (berhukum) kepada Islam. Dengan demikian tidak dibutuhkan kondisi tadarruj dengan dalih untuk mendekatkan jiwa-jiwa (manusia) dengan Islam. Tidak diperlukan sikap dengan mengikuti kelemahan manusia atau mengikuti realita, karena Allah telah memerintahkan kita untuk merubah jiwa-jiwa (manusia) dan merubah realita (yang ada) agar sesuai dengan Islam.

Apabila kita menengok kembali al-Quran, kemudian kita dalami lagi ayat-ayatnya, pasti kita akan mengetahui bahwa perintah (untuk menerapkan hukum) disana itu bersifat qoth’i (otentik). Disamping itu pasti kita akan mengetahui bahwa ide tadarruj adalah ide yang berasal dari luar Islam, berasal dari Barat, dan disusupkan secara dzalim dan penuh kebohongan oleh orang yang menamakan dirinya tokoh.

Rasulullah ﷺ dan orang-orang yang beriman kepadanya, setiap kali diturunkan ayat al-Quran, saat itu juga segera menerapkannya tanpa menunggu-nunggu atau memperlambatnya. Hukum yang diturunkan wajib diterapkan seiring dengan turunnya ayat. Setelah turunnya ayat:

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKU, dan telah Kuridhoi Islam itu jadi agama bagimu. (QS al-Maidah [5]: 3).

Kaum Muslim dituntut untuk melaksanakan Islam secara keseluruhan, dengan tuntutan yang bersifat menyeluruh; baik itu terkait dengan masalah akidah, ibadah ataupun akhlak; baik itu terkait dengan muamalah dengan aspek pemerintahan, ekonomi, sosial atau politik luar negeri; baik dalam kondisi damai maupun perang.

Firman Allah SWT:

Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumanNYA.

(QS al-Hasyir [59]: 7).

Maknanya, ambillah dan amalkanlah seluruh perkara yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ, dan tinggalkanlah serta jauhilah seluruh perkara yang dilarangnya. Kata (ma) di dalam ayat itu termasuk dalam kategori bentuk umum, yang mencakup wajibnya beramal dengan seluruh kewajiban, dan wajibnya meninggalkan atau menjauhi seluruh larangan. Tuntutan untuk melaksanakan atau meninggalkan yang terdapat di dalam ayat ini sifatnya wajib, dengan qarinah (indikasi) yang terdapat di ujung ayat, (yaitu) berupa perintah untuk bertakwa dan ancaman dengan adzab yang pedih bagi yang tidak melaksanakan.

Firman Allah SWT:

(Dan) hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang telah diturunkan Allah, dan janganlah kamu menuruti hawa nafsu mereka. Juga, berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkanmu dari sebagian apa yang telah diturunkan.
(QS al-Maidah [5]: 49).

Ayat ini memerintahkan kepada Rasul dan kaum Muslim setelah beliau dengan perintah yang bersifat jazm (pasti), (yaitu) tentang wajibnya berhukum dengan apa yang diturunkan Allah; baik itu berupa perintah atau pun larangan. Di dalam ayat itu juga Rasulullah ﷺ dan kaum Muslim setelah beliau dilarang untuk mengikuti hawa nafsu manusia lalu cenderung pada keinginan mereka. Demikian juga terdapat peringatan bagi Rasulullah ﷺ dan kaum Muslim sesudah beliau agar tidak dipalingkan oleh manusia dari penerapan sebagian hukum-hukum yang diturunkan Allah.

Allah SWT berfirman:

Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.  (QS al-Maidah [5]: 44).

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang dzalim. (QS al-Maidah [5]: 45).

Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang fasik. (QS al-Maidah [5]: 47).

Di dalam ayat-ayat ini Allah SWT menghukumi kafir atau dzalim atau fasik bagi orang-orang yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan. Lafadz (ma) disini berbentuk umum, mencakup seluruh hukum-hukum syara yang diturunkan, baik berupa perintah-perintah ataupun larangan-larangan.

Berdasarkan penjelasan di atas tampak dengan jelas dan tidak ada keraguan lagi bahwa wajib bagi kaum Muslim, baik individu, jamaah maupun negara, untuk menerapkan hukum-hukum Islam secara sempurna, tanpa menunda-nunda, memperlambat ataupun bertahap dalam penerapannya. Dan tidak ada udzur bagi individu, jamaah ataupun negara untuk tidak menerapkan.

Penerapan dengan tadarruj bertentangan dengan hukum-hukum Islam secara diametral. Islam memandang orang yang menerapkan sebagian hukum seraya meninggalkan sebagian yang lainnya, berdosa disisi Allah, baik ia individu, jamaah ataupun negara.

Sesuatu yang wajib akan tetap wajib, (yaitu) harus dilaksanakan. Dan sesuatu yang haram akan tetap haram, (yaitu) wajib dijauhi. Rasulullah ﷺ tidak menerima tuntutan (yang dilontarkan) utusan bani Tsaqif agar membiarkan berhala yang mereka sembah (Lata) selama tiga tahun; atau membiarkan mereka untuk tidak menjalankan shalat jika mereka masuk Islam. Rasulullah ﷺ tidak menerima (tuntutan tersebut) dan menolaknya dengan tegas. Beliau tetap bersikeras untuk menghancurkan berhala tanpa menunda-nunda waktu, dan tetap memerintahkan shalat tanpa mengulur-ulur waktu.

Allah telah menetapkan bahwa penguasa yang tidak menerapkan seluruh hukum-hukum Islam, atau menerapkan sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain, sebagai kafir jika dia tidak meyakini kelayakan hukum-hukum Islam, atau tidak meyakini kelayakan sebagian hukum yang ditinggalkannya itu, yang telah diturunkan oleh Allah kepada RasulNYA. Allah SWT juga menganggapnya dzalim jika dia (penguasa) meyakini kelayakan hukum Islam, tetapi tidak menerapkan sebagian hukum Islam (tidak menyeluruh).

Rasulullah ﷺ dalam hadist Ubadah bin Shamit:

Dan agar kami tidak merebut kekuasaan dari yang berhak. (Rasulullah bersabda): “Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata, dimana kalian memiliki burhan (bukti nyata) disisi Allah.”
(HR Muslim).

Berdasarkan hadist itu, tidak boleh ada (sikap) meremehkan hukum-hukum Allah, tidak juga tadarruj dalam penerapan hukum-hukum Islam. Sebab, tidak ada perbedaan antara satu kewajiban dengan kewajiban yang lainnya, juga antara satu perkara haram dengan perkara haram yang lainnya, termasuk antara satu hukum dengan hukum lainnya. Hukum Allah semuanya sama-sama wajib untuk dilaksanakan., tanpa ada penundaan atau tahapan (dalam pelaksanaannya). Jika tidak, maka kita akan terkena ayat Allah SWT:

Apakah kamu beriman kepada sebagian dari Kitab (Allah) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan dari orang yang berbuat demikian dari padamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang amat berat.
(QS al-Baqarah [2]: 85).

Tidak ada satu udzur (halangan) bagi seorang Muslim untuk tidak menerapkan satupun dari hukum-hukum syara; baik dia sebagai penguasa ataupun sebagai individu biasa, kecuali apabila terdapat rukhsha syar’iyyah (keringanan yang telah ditetapkan oleh syara) yang terdapat di dalam nash-nash syara. Ketidakmampuan yang dapat diterima (secara syar’i) sebagai rukhshah syar’iyyah adalah dalam kondisi lemah yang sebenarnya, yang bisa diindera, atau dalam kondisi keterpaksaan yang sebenarnya, seperti pada keadaan adanya mukrah al-mulji (yaitu, paksaan yang jika tidak dilaksanakan akan membahayakan jiwa). Contohnya, adalah kondisi Rasulullah ﷺ ketika menawarkan sepertiga hasil panen (kurma) penduduk Madinah kepada Yahudi bani Gathfan; atau seperti kondisi Khalifah tatkala berunding dengan para pembangkang; atau seperti dibolehkannya makan bangkai bagi orang yang hampir binasa kelaparan.

Dan kita, dengan memperhatikan apa yang telah dilontarkan, akan menjumpai bahwa ide tadarruj lahir karena tekanan realita. Lalu berupaya untuk melepaskan diri dari tekanan tersebut seraya mencari-cari dalih untuk dijadikan sebagai alasan dan justifikasi bagi mereka untuk berdakwah dengan model tadarruj. Jadi, yang muncul pertama kali adalah ide tadarruj, kemudian dicarikan dalil syar’i yang mereka takwilkan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh ide tersebut. Artinya, dari awalnya (ide ini) sudah menyimpang. Disarankan agar bisa keluar dari situasi seperti ini, bagi kaum Muslim yang mengambil ide tadarruj wajib melepaskan pakaian “kelemahan” yang mereka kenakan. Dan hendaklah mereka berhubungan dengan syara dengan bentuk hubungan yang meyakini secara total Rabbnya, beriman kepadaNYA dengan keimanan yang kuat bahwa DIA lah yang mengatur seluruh perkara dan mengubah seluruh situasi dan kondisi. Dialah yang memberikan pertolongan kepada yang berhak mendapatkan pertolongan. Dengan keimanan seperti itulah seorang Muslim (seharusnya) menghadapi realita yang keras dan situasi yang sulit. Dengan imannya itu seorang Muslim mencari kemuliaan dan menjadikannya sebagi titik tolak dakwahnya, sekaligus sebagai terminal perjalanan dakwahnya. Kita akan melihat bahwa hal itu akan mempengaruhi obyek dakwah dengan bentuk keterikatan yang benar dan konsistensi yang lurus, tanpa memerlukan tadarruj.

Seruan kepada tadarruj adalah seruan kepada selain Islam. Dan hal ini diharamkan. Sikap seperti ini akan menjadikan orang-orang non muslim dan Muslim yang lalai sementara mereka diseru dengan seruan yang bertumpu pada tadarruj akan menjadi ragu-ragu dalam menerima apapun yang ditawarkan kepadanya. Keraguan ini harus ditanggung sang da’i, karena dia tidak memaparkan tentang Islam. Seruannya itu juga jauh dengan asas ruhiyah, yang dibangun diatas keimanan kepada Allah Yang Maha Pencipta dan Maha Mengatur. Berdasarkan asas ruhiyah itulah diambil hukum-hukum syara atau ditinggalkan. Sikap seperti inilah yang menjadikan hujjah Allah tetap tegak atas para da’i dibandingkan dengan menetapkan hujjah mereka berdasarkan asas yang lain.

Seruan kepada tadarruj mengindikasikan campur tangan (manusia) dalam penetapan hukum. Yaitu dibolehkannya bagi manusia untuk menerapkan Islam secara parsial, dengan dalih tidak mampu menerapkannya secara sempurna dan sekaligus. Padahal, kita telah diperintahkan agar tidak mendahulukan atau menunda-nunda apa yang telah ditetapkan Allah atas kita. Lagi pula bukankah yang mengobati manusia (menyelesaikan segala persoalannya) adalah Rabbnya Yang Maha Mengetahui, yang mengetahui apa yang diciptakanNYA. Bagaimana mungkin seorang Muslim bisa mentolelir dirinya dengan menyerukan tadarruj, dan turut campur dalam proses pembuatan hukum ini. Seharusnya, tugas seorang da’i terbatas hanya dalam penerapan dan penyampaian hukum-hukum (Islam), bukan dalam pembuatannya.

Seruan kepada tadarruj telah memberikan kepada seorang da’i metoda berpikir yang rusak. Dengan acuan yang rusak tersebut da’i tadi menyeru manusia. Jika metoda ini dibawa dan ditularkan kepada yang lain, dan pada saat yang sama obyek dakwah juga terpengaruh, maka hal itu akan merusak metoda berpikir yang dimilikinya. Hal ini perlu diganti, sebagaimana halnya merubah pemikiran yang salah. Seperti yang sudah kita ketahui bahwa metoda berpikir itu datangnya diawal proses perubahan. Oleh karena itu perubahan metoda berpikir jauh lebih penting daripada perubahan pemikiran yang lain. Tidak akan ada perubahan umat secara signifikan sebelum metoda berpikirnya dirubah (dengan standar Islam), meskipun secara umum. Metoda berpikir yang rusak ini, yang menjadi acuan manusia berpikir dan berdakwah harus diganti dengan metoda berpikir yang benar (menggunakan standar Islam).

Tadarruj #1

Barangsiapa diantara kalian yang diberi umur panjang maka ia akan melihat perbedaan yang banyak. Dan berhati-hatilah kalian dari membuat-buat perkara yang baru. Sesungguhnya setiap perkara itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah berada di neraka. Kalian wajib mengikuti Sunnahku dan sunnah khulafa ar-rasyidin yang telah mendapat petunjuk. Dan berpegang teguhlah kepadanya seperti menggigit dengan gigi geraham. (HR Abu Dawud dan Turmudzi)

Apa yang dimaksud dengan tadarruj? Mencakup apa saja didalam teori orang-orang yang membolehkannya? Kemudian, apa alasan-alasannya? Dan bagaimana pandangan syara terhadap hal tersebut?

Kami ingin memfokuskan dan menjelaskan kerusakan ide tentang tadarruj dalam pengambilan dan penerapan (hukum) Islam, termasuk derivatnya, yaitu (antara lain) dibolehkannya kaum Muslim turut serta di dalam sistem pemerintahan yang ada sekarang ini. Juga pendapat yang mengatakan bahwa demokrasi merupakan bagian dari Islam, termasuk usaha mendekatkan Islam dengan akal manusia. Alasan perlunya pemaparan bab ini karena adanya hubungan erat antara pemikiran-pemikiran tersebut dengan aktivitas yang dilaukan oleh sebagian jamaah yang melakukan aktivitas taghyir (perubahan).

Apa yang dimaksud dengan tadarruj? Dan apa yang ada didalam pandangan orang-orang yang membolehkannya? Serta apa pula alasan-alasannya dan bagaimana hukum syara’ meniyikapi masalah ini?

Ketika kaum Muslim mengalami kemerosotan yang amat dalam dibidang ruhiyah, keterbelakangan dibidang materi, kemunduran dibidang pemikiran dan politik, maka pemikiran mereka menjadi sejalan dengan kenyatan-kenyataan buruk yang menimpa mereka. Akibatnya, di tengah-tengah orang yang memiliki komitmen kepada Islam muncul pemikiran-pemikiran yang tidak  menggambarkan hakekat Islam yang sebenarnya dan pandangan Islam tentang kehidupan. Pemikiran mereka lebih menggambarkan tentang buruknya pemahaman dan ketidaktahuan terhadap Islam dan pentunjuk-petunjuk Islam di dalam kehidupan. Pihak kafir imperialis yang mengusasai urusan kaum Muslim dan mampu membolak-baliknya sekehendak hati, telah berhasil menanamkan pemahaman dan tolok ukur mereka di kalangan kaum Muslim. Mereka (kaum kafir) berhasil menanamkan berbagai pemikiran dengan berbagai citarasa yang terasa enak di mulut musuh-musuh kaum Muslim dan terasa manis diucapkan. Semua itu untuk kepentingan kaum kafir. Penyhebabnya bukan karena Islam, melainkan terpulang kepada para penganutnya yang telah kehilangan ikatan kuat  terhadap Islam, dan hilangnya pemahaman yang benar di dalam diri mereka. Sebagian kaum Muslim itu berusaha melakukan perlawanan dengan bermodalkan pemahaman yang telah dipengaruhi oleh realita dan tunduk kepada (kepentingan) maslahat. Sayangnya perlawanan itu hanya usaha-usaha yang gagal dan langkah-langkah yang tertatih-tatih yang berakhir pada kegagalan, berujung pada kehinaan dan kepasrahan yang menakutkan. Orang-orang kafir masih bercokol di negeri-negeri kita. Tidak ada yang bisa menghalangi mereka dan tidak ada yang mampu mencegah mereka. Bagaimana sebenarnya cara orang-orang kafir imperialis itu menyerang Islam? Dan bagaimana reaksi kaum Muslim?

Orang-orang kafir menyerang Islam dengan mengatakan bahwa Islam tidak mampu menyesuaikan diri dengan zaman dan Islam tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah kontemporer yang bermunculan. Reaksi kaum Muslim terhadap lontaran ini adalah menciptakan solusi-solusi Islami dari berbagai perkara yang dilontarkan sistem kapitalis. Karena asas yang mendasari tegaknya sistem kapitalis berlawanan dengan asas tempat tegaknya Islam maka mereka pun menyegaja mengkompromikan antara dua perkara yang (sesungguhnya) saling berlawanan. Mereka juga secara sengaja membuat-buat takwil (interpretasi) yang salah, yang pada gilirannya akan melahirkan pemahaman-pemahaman dan tolok ukur yang salah pula yang disandarkan kepada syara’ secara zalim dan dusta. Semua itu bertujuan untuk menciptakan keharmonisan diantara keduanya dan memberikan gambaran bahwa Islam mampu mengikuti perkembangan zaman. Akibatnya, pemahaman-pemahaman dan tolok ukur semacam itu dianggap Islami dan digunakan untuk memahami Islam. Padahal, hakekatnya jika kita mengambil (pemahaman dan tolok ukur semacam itu) berarti sama saja dengan meninggalkan Islam dan mengikuti sistem kapitalis. Setiap seruan untuk kompromi atau apapun yang dipengaruhi oleh seruan kompromi ini hakekatnya adalah seruan untuk mengambil kekufuran dan meninggalkan Islam. Ini berarti juga mengemban pemikiran kafir kepada kaum Muslim dan mengajak mereka untuk mengambilnya, seraya meninggalkan dakwah kepada Islam yang sebenarnya.

Dengan demikian, jika kaum Muslim sepanjang masa kamundurannya berusaha untuk membangkitkan umat dengan pemikiran-pemikiran yang semodel ini, maka usaha-usaha itu ibarat seberkas cahaya yang tidak mampu menerangi umat dan tidak sanggup menariknya dari kemunduran umat.

Dari sinilah kita mulai mendengar berbagai perbincangan yang melampaui batas-batas syari’at Islam, baik disertai dengan niat atau secara tidak sengaja, lalu menyatakan bahwa tidak masuk akal jika kita yang hidup pada masa lebih dari empatbelas abad sejak masa Rasulullah ﷺ masih berpegang dengan pola pikir yang sama dengan pola pikir masa kenabian. Jadi harus dilakukan upaya tajdid (pembaruan) kembali syari’at Islam agar bisa menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi. Hal ini mampu meletakkan Islam di garda paling depan (diantara umat-umat lain). Menurut mereka, Islam harus diberi pakaian dengan busana modern, disuntikkan ke dalamnya pemikiran-pemikiran kontemporer sehingga Islam mampu mempersatukan kembali jiwa-jiwa. Dan agar Islam keluar dari kepompongnya, serta keluar dari tuduhan-tuduhan pihak lain yang dilontarkan kepadanya disebabkan pakaian buruknya tidak bisa diterima (orang banyak).

Bertolak dari sini sebagian kaum Muslim mengeluarkan sejumlah pemikiran yang menjadi bentuk kaidah-kaidah pemikiran mereka, yang membatasi gerak orang-orang yang mengadopsinya dan menetapkan perspektif baru dalam kehidupan mereka. Pemikiran-pemikiran itu disepakati bernama pemikiran-pemikiran masa kemunduran, yang dimulai kemunculannya sejak bangkitnya pemikiran-pemikiran Barat yang rusak di negeri-negeri kita. Itu terjadi ketika sebagian kaum Muslim beranggapan bahwa mengikuti perkembangan zaman dan mengambil manfaat dari pemikiran Barat yang sedang bangkit merupakan suatu keharusan yang Islami agar Islam tetap berada pada kemodernannya.

Sejak itu muncul pemikiran kontemporer yang melayani tujuan ini, seperti: inna ad-dina marinun wa mutathawwir (agama Islam itu elastis dan mengikuti perkembangan), khudz wa thalib (ambil dan tuntutlah hak Anda), al-qabul bima yuwafiqu asy-syar’i aw bima la ykhalifu as-syar’i (menerima apa pun yang sesuai dengan syara’ atau apa pun yang tidak bertentangan dengan syara’), irtikabu akhaffu adh-dhararain wa ahwanu asy-syarrain (pelaksanaan yang lebih ringan bahayanya dan yang lebih sedikit keburukannya), ma la yu’khadzu kulluhu la yutraku jalluhu (apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya maka jangan ditinggalkan semuanya), at-tadarruj fi akhzi al-Islam (bertahap dalam penerapan Islam), ad-dimuqrathiyyah min al-Islam (demokrasi adalah bagian dari Islam), la yunkaru taghayyur al-ahkam bi taghayyuri az-zaman wa al-makan (tidak diingkari perubahan hukum dengan berubahnya waktu dan tempat), haitsuma takunu al-maslahah fatsamma syar’ullah (dimana ada maslahat disana ada hukum Allah). Pemikiran-pemikiran seperti ini menjadi titik tolak pemikiran atau kaidah berpikir bagi apa yang mereka namakan dengan “kebangkitan Islam modern” yang dimotori oleh tokoh terpenting dalam masalah ini, yaitu Jamaluddin al-Afghani dan muridnya yang menjadi anggota organisasi Freemasonri, Muhammad Abduh, yang saat itu digelari syaikhul Islam.

Sesungguhnya perkataan semacam ini diucapkan oleh orang-orang yang memiliki niat buruk dan kebusukan yang tersembunyi, dengan maksud bisa memisahkan kaum Muslim dengan sebab-sebab kekuatan mereka dan mewariskan kepada mereka kelemahan yang membuatnya berdiam diri terhadap penerapan hukum-hukum Allah untuk kedua kalinya.

Perkataan tersebut juga dilontarkan oleh orang-orang yang berniat atau bermaksud baik, tetapi mereka mengira bahwa pemikiran tersebut merupakan obat mujarab  yang menyembuhkan apa saja yang diderita kaum Muslim saat ini, yaitu berupa kemunduran dan kemerosotan.

Perkataan seperti ini, baik diucapkan dengan niat buruk atau baik, pengaruhnya terhadap realita kaum Muslim sama saja. Kami, bagaimanapun juga memperingatkan kepada kaum Muslim tentang tipu daya orang-orang kafir terhadap agama ini. Kami menasehati mereka agar mencabut pemikiran semacam ini, yang pasti kegagalannya secara riil, yang tidak melahirkan kebaikan dan tidak mampu mengusir keburukan. Allah SWT telah  menjadikan kita umat yang paling kaya, karena Islam telah cukup dan tidak perlu mengambil dari umat yang lain. Tabiat Islam telah menentukan metoda pengambilannya. Dan agama Islam diturunkan Allah untuk untuk menyelesaikan seluruh problematika kehidupan. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh seorang Muslim kecuali berijtihad, menggali nash-nash syara’ yang telah diturunkan. Bukan mencari selainnya untuk mengetahui hukum-hukum Allah SWT. Kaedah berpikir seorang Muslim—yang mengharuskan kehidupannya terikat dengan dalil-dalil syara’—itulah yang disebut dengan hukum-hukum syara’ yang memiliki dalil-dalil yang rinci. Metode ijtihad ini bersifat tetap dan tidak berubah. Dengan alasan apapun tidak boleh menggantikannya. Dari sinilah betolaknya asas kebangkitan kita secara sempurna, sebagaimana telah bertolak sebelumnya.

Tidak ada salahya menyebutkan kaedah-kaedah dan pemikiran-pemikiran yang terikat dengan dalil-dalil syara’ yang wajib menguasai benak kaum Muslim untuk mengatur arah dan cara pandang mereka agar mereka berbuat sesuai syariat. Contohnya:

حيثما يكون الشرع تكون المصلحة، وليس العكس

Dimana ada hukum syara’ disitu ada maslahat, dan bukan sebaliknya

الأصل في الا فعل التقبد با لحكم الشرعي

Asal suatu perbuatan terikat dengan hukum syara

 الأصل في الا شياء الا با حة ما لم يرد دليل التحريم 

Asal segala sesuatu (benda-benda) adalah mubah selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya

الحسن ما حسنه الشرع، والقبح ما قبحه الشرع

Kebaikan (hasan) itu adalah apa-apa yang dikatakan baik oleh syara, dan keburukan (qabih) itu adalah apa-apa yang dikatakan buruk oleh syara

الخير هو ما ارض الله، والشر هو ما اسخطه

Kebaikan (khair) itu adalah apa-apa yang diridhai Allah, dan keburukan (syarr) itu adalah apa-apa yang dibenci Allah

لا حكم  قبل ورود الشرع

Tidak ada hukum sebelum datangnya syariat

من اعرضى عن ذكر الله فان له معيشة ضنكا

Barangsiapa yang berpaling dari hukum Allah maka baginya kehidupan yang sempit

 إن الامة الاسلا مية هي امة واحدة من دون الناس

Sesungguhnya umat Islam adalah umat yang satu tidak seperti umat yang lain

 إن الإسلام لا يقر الوطنية ولا القومية ولا الاشتراكية ولا الديمقراطية

Sesungguhnya Islam tidak mengakui wathaniyah (nasionalisme), qaumiyah (kebangsaan), istirakiyyah (sosialisme) dan demokrasi

إن الإسلام طراز معين في العيش يختلف عن غيره كل الا ختلاف

Islam adalah gaya hidup yang unik, yang berbeda dengan gaya hidup lainnya secara diametral

 Jika sebagian nash-nash syara diperhatikan dengan seksama maka akan menunjukkan dengan jelas tentang pentingnya keterikatan terhadap apa yang telah dipegang oleh generasi salafus shalih. Kita tidak boleh keluar dari keterikatan tersebut dengan membuat sesuatu yang baru (bid’ah), karena berlaku bid’ah di dalam agama adalah perbuatan yang tercela.

Rasullullah ﷺ bersabda:

 وقد تركت فيكم ما إن اعتصمتم به فلن تضلو ابدا، امرا بينا، كتاب الله وسنة نبيه

(سيرات ابن هشام)

Sungguh aku telah meninggalkan bagi kalian suatu perkara yang kalian berpegang teguh kepadanya maka kalian tidak akan tersesat selamanya, sesuatu yang telah jelas, (yaitu) Kitabullah dan Sunnah RasulNYA
(Sirah Ibnu Hisyam)

Lafadz abada (selamanya) juga mencakup kita semua.

Rasullullah ﷺ bersabda:

 وتفترق امتي على ثلاث وسبعين فرقة كلها في النرالا واحدة قلوا: “و من هي يا رسول الله؟ قل: من أنا عليه واصحابي اليم  “.
(أبو داود وابن ماجه وترمذ وابن حنبل)

Dan umatku akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya berada di neraka, kecuali satu. Dan mereka (para sahabat) bertanya: “Siapa orang-orang yang termasuk golongan yang selamat itu wahai Rasulullah? Beliau menjawab: (Yaitu) yang mengikuti jalanku dan jalan para sahabatku sekarang ini”. (HR Abu Dawud, Turmudzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hanbal)

 

Telah aku tinggalkan bagi kalian hujjah-hujjah yang putih bersih, yang tidak akan menyimpang daripadanya sesudahku kecuali orang-orang yang sesat. (HR Ibnu Majah dan Ibnu Hanbal)

Sabda Rasulullah ﷺ:

 

Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada zamanku, kemudian orang-orang sesudah mereka, kemudian orang-orang sesudah mereka…. (HR Muslim)

Sabda Rasulullah ﷺ:

 

Barangsiapa diantara kalian yang diberi umur panjang maka ia akan melihat perbedaan yang banyak. Dan berhati-hatilah kalian dari membuat-buat perkara yang baru. Sesungguhnya setiap perkara itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah berada di neraka. Kalian wajib mengikuti Sunnahku dan sunnah khulafa ar-rasyidin yang telah mendapat petunjuk. Dan berpegang teguhlah kepadanya seperti menggigit dengan gigi geraham. (HR Abu Dawud dan Turmudzi)

 

Beliau Rasulullah ﷺjuga bersabda:

 

Setiap perbuatan yang tidak Kami perintahkan sesungguhnya (perbuatan itu) tertolak. (HR Bukhari dan Muslim)

 

Hadis-hadis tersebut menyerukan untuk mengikuti yang hasan (baik) dan peringatan agar menjauhi perkara bid’ah. Dari sistematika kebaikan yang disebutkan oleh Rasulullah ﷺ menunjukkan bahwa keterikatan akan semakin melemah setiapkali zaman bertambah jauh dari masa Rasulullah ﷺ. Hal ini menunjukkan bahwa semakin jauh suatu zaman dengan masa Rasulullah ﷺ maka kita dituntut agar memiliki keterikatan yang lebih kuat, lebih konsisten dan lebih banyak lagi proses pencarian kebenaran, juga membutuhkan keikhlasan yang lebih besar. Apabila yang diminta atas kita adalah berpegang teguh kepada Sunnah Nabi ﷺ dan sunnah khulafa ar-rasyidin yang mendapat petunjuk, dan harus melaksanakan apa pun yang Rasulullah ﷺ dan para sahabat kerjakan, maka kita tidak boleh membuat-buat bid’ah di dalam agama dan tidak keluar lalu terperangkap pada perkara bid’ah. Yang demikian itu tertolak. Lalu, bagaimana jalan yang harus kita tempuh agar kita bisa memperoleh keselamatan dimasa sekarang ini?

  • Kita harus menjaga akidah Islam agar tetap bersih dan suci di dalam jiwa kita sehingga tidak ada satupun faktor yang bisa mengeruhkannya
  • Kita harus mengambil sumber-sumber Islam yang bersih dan suci
  • Kita harus menjaga metoda istidlal (pengambilan dalil) yang akurat, yang bisa mencegah infiltrasi hawa nafsu dan pendapat manusia ke dalam hukum-hukum syara
  • Kita harus menjadikan Islam sebagai perkara yang paling penting dalam kehidupan kita; lebih penting dari diri kita sendiri, anak-anak dan keluarga kita; lebih penting dari segala perkara yang mengikuti hawa nafsu kita dan kalimat Allah-lah yang tertinggi di dalam jiwa kita. Kita tidak melalaikan perintah-perintah Allah dan RasulNYA, sehingga keadaan kita menjadi seperti keadaan salafus shalih
  • Kita harus menanggalkan pemikiran-pemikiran kufur dan segala kotorannya dari jiwa dan akal kita, serta membuang jauh-jauh segala keburukan dan bekas-bekasnya sebagaimana para sahabat ra yang telah melucuti seluruh kotoran jahiliyyah di depan tangga Islam, lalu mereka memasukinya dengan penuh kesucian dan ketakwaan

Semua ini mengharuskan kita untuk memulai segalanya dari awal, karena umat dimasa akhir ini tidak akan baik kecuali dengan (menggunakan) perkara yang menjadikan umat dimasa awal baik. Ini merupakan suatu keharusan dimana kaum Muslim harus memilikinya pada setiap fase kehidupan mereka. Dekat atau pun jauhnya mereka dari perkara tersebut amat menentukan kuat atau lemahnya kondisi mereka.

Berdasarkan paparan di atas maka kita pun bertanya: Apa yang dimaksud dengan tadarruj? Mencakup apa saja didalam teori orang-orang yang membolehkannya? Kemudian, apa alasan-alasannya? Dan bagaimana pandangan syara terhadap hal tersebut?

Tadarruj berarti melaksanakan hukum syara yang dituntut melalui tahapan-tahapan, bukan sekaligus. Para penganutnya menyebutnya sebagai masa transisi (marhaliyah). Pertama-tama—menurut pandangan orang yang membolehkan tadarruj—seorang Muslim menerapkan atau menyerukan hukum selain hukum syara, akan tetapi hukum itu lebih dekat kepada hukum syara dibandingkan yang telah diterapkan sebelumnya. Kemudian—menurut pandangan orang yang membolehkan tadarruj—secara bertahap menyeru atau menerapkan hukum selain syara yang lebih dekat lagi dibandingkan dengan hukum sebelumnya. Setelah itu—menurut pandangan orang yang membolehkan tadarruj—menyeru atau menerapkan hukum selain syara yang lebih dekat lagi hingga menghantarkannya kepada hukum syara yang dituntut.

Tadarruj juga berarti menerapkan hukum syara dengan membiarkan penerapan hukum selain syara untuk sementara waktu, hingga tiba saatnya penerapan hukum syara secara sempurna.

Tadarruj—menurut pandangan orang yang membolehkannya—tidak terkait dengan tahapan-tahapan tertentu. Juga tidak tunduk kepada kaedah-kaedah yang mengikat. Kadang-kadang satu hukum bisa mengambil satu tahap, dua, tiga atau malah lebih. Tadarruj sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi dalam menentukan jumlah tahapan. Terkadang banyak, kadang sedikit. Dan waktu yang dibutuhkan setiap tahap terkadang memakan waktu lama, terkadang sebentar.

Istilah tadarruj kadang-kadang mencakup juga pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan akidah, seperti “Sesungguhnya sosialis itu bagian dari Islam” atau “Sesungguhnya demokrasi itu bagian dari Islam”. Terkadang mencakup juga hukum-hukum syara, seperti, keadaan seorang wanita yang mengenakan pakaian yang panjangnya sedikit dibawah lutut sehingga pada tahap berikutnya bisa melaksanakan hukum syara yang dituntut. Kadangkala tadarruj berkaitan dengan sistem, seperti tuntutan agar turut serta di dalam sistem pemerintahan, meskipun hal itu haram secara syar’i sesuai dengan pengakuan para pendukung tadarruj itu sendiri. Namun, menurut mereka bukan tuntutan itu yang menjadi tujuan sebenarnya. Bergabungnya dengan pemerintahan kufur itu dalam rangka menuju pemerintahan Islam yang merupakan pokok dan kewajiban pada tahap berikutnya. Tadarruj juga bisa berarti usaha-usaha untuk mewujudkan sebagian hukum Islam dengan membiarkan hukum-hukum lain, dengan harapan akan semakin banyak hukum Islam yang diterapkan, kemudian menjadi mayoritas dan seterusnya. Kadang-kadang tadarruj berkaitan dengan dakwah tatkala perkara tersebut dipropagandakan. Orang yang meyakini tadarruj bersikukuh dengan cara-caranya ini dan berusaha mengajak orang lain untuk mengikutinya. Kadang-kadang kita jumpai bahwa orang yang melontarkan ide ini adalah orang yang takwa, yang jika berkaitan dengan dirinya sendiri dia tidak menerima adanya tahapan-tahapan, akan tetapi jika berkaitan dengan orang lain dia menerima adanya tadarruj karena dia menghendaki agar orang lain dapat menjalankan hukum syara, disamping agar mereka tidak menolak dakwah kepada hukum-hukum Islam. Jadi, menurutnya, keadaan mereka yang menjalankan sebagian dari hukum-hukum adalah lebih baik dari pada tidak melaksanakannya sama sekali.